Model Pembelajaran - Mempertanyakan kemampuan sekolah. Selama ini orang hampir saja melupakan bahwa saat lembaga formatif (sekolah) ini dicipta dia tidaklah memikul beban seluas dan seberat sekarang. Memang orang malahan telah melupakan peran sekolah di mula kelahirannya. Padahal dulunya sekolah hanyalah bersifat membantu orang tua anak, yang berhubung semakin heterogennya profesi kerja, kompleksnya struktur msyarakat, bertambah dan berkembangnya ilmu pengetahuan, maka tidak lagi orang tua mampu memberikan segalanya. Karenanya perlu bantuan sekolah untuk memberikan sesuatu yang tidak diperoleh anak di rumah ataupun dalam pergaulan bersama lingkungannya. Tetapi, dalam perkembangan selanjutnya ternyata sekolah entah menuruti kemauan siapa dan dari pihak mana, bidang garapnya jadi bertambah, meluas dan terus meluas, bukan saja ganda tetapi jamak.
Keyakinan akan kemampuan sekolah yang sudah berusaha ribuan tahun ini ada pada semua rakyat tanpa memandang kelas sosial tertentu. Rakyat yang paling kecilpun mendambakan sekolah, sebab menurut mereka disanalah hari depannya terletak. Dan seorang pemimpin di semua tingkat dan bidang, berusaha menahan pengaruhnya atas keselamatan mendatang berada disana. Kita senantiasa menyaksikan tiap tahun ajaran baru, kala masa pendaftaran masuk sekolah tiba, maka warga masyarakat ramai berebut tempat, antri formulir, dengan jalan apapun bila mungkin, karena mereka yakin dengan cara itulah masa depan akan terjamin lewat selembar kertas bersama STTB. Mengapa hal demikian terjadi ?
Pertama adalah soal keyakinan. Entah apapun buktinya tidaklah penting, bukankah orang selama ini telah menjadikan pendidikan sebagai tolak ukur naik tidaknya orang, pantas tidaknya orang diberi posisi, pintar tidaknya orang. Kedua, yakni soal salah mengerti mengenai sekolah. Keberhasilan seseorang atau kegagagalan orang diidentifikasikan sebagai keberhasilan atau kegagalan sekolah tempat orang itu pernah menuntut ilmu. Mereka kurang melihat variable lain yang turut menentukan seseorang, baik dalam rumah tangga, teman maupun pergaulan dalam masyarakat luas. Ketiga, adalah mengenai sempitnya salah tafsir mengenai pendidikan. Pendidikan hanya diartikan sebagai tempat belajar yang formal, yang punya jadwal pelajaran, kurikulum, gedung, pustaka, laboratorium dan lain sebagainya. Maka orang bicara manusia terdidik berarti manusia yang tinggi sekolah formalnya. Tetapi seharusnya perlu diingat, bahwa pendidikan juga harus dipandang sebagai kegiatan kehidupan dalam kemasyarakatan untuk mencapai perwujudan manusia secara utuh yang berjalan terus-menerus seolah-olah tidak ada batasnya sampai akhir hayat. Keempat, adalah akibat reklame sekolah yang sedemikian gencar seakan-akan tanpa sekolah dunia manusia akan berhenti dan akan digantikan berkembang kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan dalam ukuran-ukuran tertentu justru dimiliki oleh sementara mereka yang pernah mendapatkan kesempatan dikurung lebih lama di sekolah.
Pendewasaan terhadap sekolah akan kemampuan jamaknya bagaimanapun ada segi negatifnya. Sebab sekolah adalah sekolah, sebuah lembaga pendidikan formal yang terbatas ruang geraknya, lagipula hanyalah sub dari sub sistem dari keseluruhan kehidupan bernegara ini. Pada sisi lain korban terbanyak dari pendewasaan sekolah jatuh pada rakyat kecil dan miskin. Mereka mudah meniru para pemimpin dan orang yang dianggap lebih pandai, berebut sekolah dengan mengorbankan kekayaan, menjual sawah, ladang, dengan harapan kelak anaknya akan mengalami mobilitas sosial ke atas, dari petani desa ingin menjadi pejabat kota.
Namun kadang apa realitanya ? fakta banyak membuktikan, kecewa jualah yang dapat mereka. Ijasah tak bisa digunakan untuk apa-apa, tamat sekolah pekerjaan susah didapatnya. Mau pulang ke kampung mencangkul ? sawah ladangnya sudah dijual. Kalaupun masih ada sawah sungkan mencangkul lantaran malu. Masa tamatan sarjana ujung-ujungnya mencangkul atau apa arti sekolah sejak dulu tetapi akhirnya ke ladang juga kata mereka yang awam.
12. Model Pembelajaran Taksi (teka-teki silang)
Keyakinan akan kemampuan sekolah yang sudah berusaha ribuan tahun ini ada pada semua rakyat tanpa memandang kelas sosial tertentu. Rakyat yang paling kecilpun mendambakan sekolah, sebab menurut mereka disanalah hari depannya terletak. Dan seorang pemimpin di semua tingkat dan bidang, berusaha menahan pengaruhnya atas keselamatan mendatang berada disana. Kita senantiasa menyaksikan tiap tahun ajaran baru, kala masa pendaftaran masuk sekolah tiba, maka warga masyarakat ramai berebut tempat, antri formulir, dengan jalan apapun bila mungkin, karena mereka yakin dengan cara itulah masa depan akan terjamin lewat selembar kertas bersama STTB. Mengapa hal demikian terjadi ?
Pertama adalah soal keyakinan. Entah apapun buktinya tidaklah penting, bukankah orang selama ini telah menjadikan pendidikan sebagai tolak ukur naik tidaknya orang, pantas tidaknya orang diberi posisi, pintar tidaknya orang. Kedua, yakni soal salah mengerti mengenai sekolah. Keberhasilan seseorang atau kegagagalan orang diidentifikasikan sebagai keberhasilan atau kegagalan sekolah tempat orang itu pernah menuntut ilmu. Mereka kurang melihat variable lain yang turut menentukan seseorang, baik dalam rumah tangga, teman maupun pergaulan dalam masyarakat luas. Ketiga, adalah mengenai sempitnya salah tafsir mengenai pendidikan. Pendidikan hanya diartikan sebagai tempat belajar yang formal, yang punya jadwal pelajaran, kurikulum, gedung, pustaka, laboratorium dan lain sebagainya. Maka orang bicara manusia terdidik berarti manusia yang tinggi sekolah formalnya. Tetapi seharusnya perlu diingat, bahwa pendidikan juga harus dipandang sebagai kegiatan kehidupan dalam kemasyarakatan untuk mencapai perwujudan manusia secara utuh yang berjalan terus-menerus seolah-olah tidak ada batasnya sampai akhir hayat. Keempat, adalah akibat reklame sekolah yang sedemikian gencar seakan-akan tanpa sekolah dunia manusia akan berhenti dan akan digantikan berkembang kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan dalam ukuran-ukuran tertentu justru dimiliki oleh sementara mereka yang pernah mendapatkan kesempatan dikurung lebih lama di sekolah.
Pendewasaan terhadap sekolah akan kemampuan jamaknya bagaimanapun ada segi negatifnya. Sebab sekolah adalah sekolah, sebuah lembaga pendidikan formal yang terbatas ruang geraknya, lagipula hanyalah sub dari sub sistem dari keseluruhan kehidupan bernegara ini. Pada sisi lain korban terbanyak dari pendewasaan sekolah jatuh pada rakyat kecil dan miskin. Mereka mudah meniru para pemimpin dan orang yang dianggap lebih pandai, berebut sekolah dengan mengorbankan kekayaan, menjual sawah, ladang, dengan harapan kelak anaknya akan mengalami mobilitas sosial ke atas, dari petani desa ingin menjadi pejabat kota.
Namun kadang apa realitanya ? fakta banyak membuktikan, kecewa jualah yang dapat mereka. Ijasah tak bisa digunakan untuk apa-apa, tamat sekolah pekerjaan susah didapatnya. Mau pulang ke kampung mencangkul ? sawah ladangnya sudah dijual. Kalaupun masih ada sawah sungkan mencangkul lantaran malu. Masa tamatan sarjana ujung-ujungnya mencangkul atau apa arti sekolah sejak dulu tetapi akhirnya ke ladang juga kata mereka yang awam.
12. Model Pembelajaran Taksi (teka-teki silang)
Langkah-langkah
- Guru menyuruh siswa memperhatikan tabel berupa lingkaran-lingkaran/kotak-kotak kosong yang tersedia
- Setiap tabel tersedia nomor urut, dan siswa mengisi sesuai dengan nomor urut pula
- Sebelum menjawab pastikan pertanyaan sudah betul-betul dibaca berkali-kali
- Pastikan jawaban sesuai dengan jumlah kolom
- Bagi siswa yang cepat dan tepat dalam memenuhi kolom teka-teki silang ini, maka ialah pemenangnya. Adapun siswa yang belum beruntung atau lambat dalam menyelesaikan kolom kosong tersebut, maka ia tidak dapat melanjutkan ke babak selanjutnya
0 Response to "Model Pembelajaran Taksi (teka-teki silang)"
Post a Comment