Adat di daerah Riau yang terdiri dari kepulauan dan daratan, bila kita ikuti dengan seksama bersumber dari dua jurusan : pertama, dari zaman kebesaran kerajaan Pagaruyung yang kemudian lebih dikenal dengan daerah minangkabau. Kedua dari tanah eberang di zaman kerajaan Johor.
Masuknya Islam ke Riau dan mMinangkabau, maka agama dan adat saling menguatkan. Adat bersandi syarak, syarak bersandikan kitabullah. Sendi-sendi kekuatan inilah sampai dikatakan : hidup yang akan dipakai, mati yang akan ditopang.
Kemudian dari perkembangan kemajuan adat dan agama dikatakan pula :” adat menurun, syarak mendaki”. Berarti kerajaan Pagaruyung yang begitu kokoh dan rapi menyusun adat istiadatnya menjadi sumber adat. Oleh karena letaknya pada ketinggian gunung hijau, maka tata cara adat turun keseluruh daerah Minangkabau, sampai-sampai ke daerah pesisir yang rendah khususnya daerah Riau.
Sebaliknya dikatakan syarak mendaki, maksudnya agama Islam dating dari Pasai dan Malaka dan menyusuri sungai-sungai di Riau dan terus masuk ke Minagkabau. Sumber adat lainnya yang besar berpengaruhnya di Riau adalah hubungan dekat antara Riau denga Malaka atau kerajaan Johor. Lebih-lebih lagi Riau dan Johor sama-sama bersultan, maka Johorpun menjadi sumber adat daerah Riau.
Dalam hubungan ini sejarahpun mencatat, bahwa raja Malaka adalah raja Melayu Islam yang kemudian turun -temurun memegang kerajaan Johor, Riau kepulauan, dan Siak Sri Indrapura dan lain-lainnya. Kemudian dari arus kedua penjuru tersebut, mak proses perkembangan dan kemajuan penduduk daerah Riau masing-masing membentuk corak adat dan istiadat pula denga tidak melepaskan pokok-pokok pedoman dari raja Pagaruyung ataupun kerajaan Johor.
Inilah yang dimaksud, bahwa adat dengan segala tata cara dan upacara dalam Provinsi Riau, ada disatu daerah, tetapi tidak ada di daerah lain. Adapula yang serupa, hanya berlainan nama dan sedikit berbeda pada pelaksanaannya. Perbedaan ini timbul akibat pengaruh lingkungan cara hidup, menjelma menjadi ciri khas dalam pembawaan pengaruh kebudayaan Hindu atau Barat dan semakin lama makin disesuaikan menurut ajaran Islam.
1.Minangkabau antara darat dan Pesisir.
Asal mula kedatangan raja yang bergelar : Sang Sapurba dari Sriwijaya. Nama lengkapnya Sang Sapurba Sri Tribuana Mauliarnadewa atau Sang Sapurba Sri Tribuana Raja Mauliwarman. Ia dijadikan orang sumondo oleh Datuk Suri Dirajo, dijodohkan dengan Puti Indo Jati. Dari perkawinan inilah sal mulanya lahir seorang putra bernama Panduko Basa yang kemudian dikenal dengan gelar Datu Ketemanggungan. Setelah Sang Sapurba wafat, janda Indo Jati bertemu jodoh dengan seorang bangsawan “Cati Bilang Pandai”, dari perkawinan ini dapat kurnia 6 orang anak, yaitu 2 laki-laki dan 4 perempuan. Anak laki-laki yang tertua inilah Sutan Balun yang bergelar Datu Perpatih Nan Sabatang. Kedua tokoh ini membawakan perbedaan paham yang prinsipil yaitu : Datuk Ketemanggungan menciptakan kelarasan Koto Piliang : berpucuk bulat, titik dari atas, bertangga turun. Kekuasan turun dari raka ke rakyat. Demikianlah system kerajaan feudal. Datuk Perpatih nan Sebatang dengan kelarasan Budi Caniago : berurat Tunggang. Maksudnya berurat berakar ditengah masyarakat. Membersut ditengah dari bumi artinya suara rakyatlah yang diutamakan (demokratis).
2. Riau Kepulauan dengan Riau Daratan
Riau Kepulauan dan daratan memiliki perbedaaan dalama adat istiadatnya terutama bekas kewedanaan Bangkinang membawakan adat Minangkabau, dan pada tahun 1942 (zaman Jepang) wilayahnya ini masuk Riau.
Dari uraian di atas dapat dismpulkan, bahwa semua adat adalah bagian dari kesatuan adat Indonesia, sebgaimana bangsa Indonesia itu satu dalam arti Bhineka Tunggal Ika. Namun masing-masing daerah itu membawakan adatnya pula seperti kesultanan Siak dengan bekas kerajaan Gunung Sahilan, Indra Giri Hulu, Kerajaan-kerajaan diPasir Pengaraian dan lain-lainnya.
0 Response to "Adat di Riau Daratan dan Riau Kepulauan"
Post a Comment