1. Kawin lari
Salah satu cara perkawinan yang sebenarnya tidak dikehendaki oleh masyarakat umumnya dan diluar adat istiadat adalah apa yang dinamakan kawin lari. Meskipun pada pelaksanaan perkawinan dilakukan menurut syariat Islam, tetapi karena tata cara kawin lari dimana sianak laki-laki dan wanita meninggalkan kampungnya pergi kenegeri lain dan mengucapkan akad nikah disana. Maksudnya kedua orang ini sudah sama-sama bertekad sepenuhnya untuk meningkat pada jenjang perkawinan disebabkan kedua insan ini sudah saling mencintai dan tidak mungkin dapat dihalang-halangi dengan tekad yang tidak dapat ditawar lagi ibarat kata “membujur lalu, membelintang patah”. Akan tetapi untuk pelaksanaan perkawinan terjadi beberapa halangan antara lain :
- Pihak laki-laki tidak mampu yang menurut adat “lembaga diisi, adat dituang” artinya memenuhi biaya perkawinan dan beberapa persyaratan menurut adat
- Ibu bapak dari pihak perempuan kurang setuju atau hal-hal lain yang kurang serasi dalam lingkungan keluarganya serta kaum kerabat
- Terbentur dan memenuhi jalan buntu menghadapi cara perkawinan menurut adat masing-masing kedua pihak. Umpama satu pihak mempertahankan adat “materilachat” dalam hal ini turunan menurut pihak ibu disebut semondo. Satu pihak mempertahankan adat “patrialchat” dalam hal ini turunan menurut bapak disebut jujuran. Apabila anatar kedua belah pihak tidak dapat persetujuan, maka perkawinan akan gagal
- Ada pula akibat si perempuab menolak calon dari orang tuanya, tetapi belum ada ikatan apa-apa sepanjang adat. Akhirnya si perempuan kawin lari dengan laki-laki yang dicintainya.
Pelaksanaan ini jika kurang hati-hati sering menimbulkan konflik, bukan saja pihak orang tua, tetapi lebih memungkinkan dari orang sekampung. Sudah barang tentu kawin lari tidak akan meninggalkan pertanda apa-apa, karena pihak orang tua sendiri yang ikut menghalangi
Syarat kawin lari
Sebagaimana dijelaskan diatas, kawin lari yang berkisar soal kemampuan mengenai biaya dimana sebenarnya pihak orang tua kedua belah pihak setuju, maka kepergian ini meninggalkan pertanda. Perkawinan tidak boleh dilangsungkan di kampong itu sebab dikhawatirkan terganggu keamanan dan ketertiban. Caranya telah diatur sedemikian rupa :
- Dilaksanakan dinegeri atau kampong lain artinya semakin jauh semakin baik
- Jaraknya dari negeri kampong asal tidak boleh kurang dari 2 marhalah atau 70 m.
Sudah barang tentu terlebih dahulu dipersiapkan surat-surat keterangan, terutama penjelasan bahwa siwanita bukanlah tunangan atau istri orang lain. Oleh karena itu apabila mereka kembali ketempat asalnya, maka segala sesuatunya diselesaikan dengan baik oleh orang tua yang adat dan pemuka-pemuka kedua belah pihak. Persyaratan-persyaratan yang tidak memberatkan kedua belah pihak seperti jamuan makanan yang sederhana saja. Jika keadaan sudah didudukkan sedemikian rupa, maka setiap yang kusut akan selesai dan yang keruh menjadi jernih. Dalam acara ini adat mengatakan “hutang dibayar, kesalahan minta diampuni”.
2. Nikah Terjun
Yang dimaksud dengan nikah terjun adalah si pemuda dan si pemudi pergi kerumah tuan kadhi di dalam kampong itu juga. Mereka menyatakan keinginan mereka untuk dikawinkan. Tuan kadhi belum boleh melaksanakan begitu saja terlebih dahulu diberitahukan kepada orang tua wanita untuk mendapatkan wali hakim. Apabila pihak orang tua menolak, maka difasikkan artinya ditanggalkan haknya sebagai wali hakim dan tuan kadhi berhak menjadi wali hakim.
Demikianlah kawin lari dan nikah terjun bagi persukuan Melayu sejak kemerdekaan republik Indonesia boleh dikatakan jarang terjadi apalagi setelah pemerintah menetapkan undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974
0 Response to "Kawin Lari dan Nikah Terjun"
Post a Comment