Tradisi Marsialapari (Gotong royong) pada Masyarakat Mandailing Bangun Purba di Rokan Hulu Riau

Katakanlah dari proses bercocok tanam, padi ditanam di ladang kering yang disebut mangordang atau martaduk, seseorang memegang dua potong kayu sekaligus dengan ujung diruncingkan, seperti pensil diraut, lalu diposisikan menyilang (seperti leter x) dan dihunjamkan ke bumi untuk membuat lubang tempat menanam buliran padi. Pangordang biasanya berjalan mundur, dan kadang-kadang kejedot bongkahan atau batang pohon bekas tebangan. Lalu di depannya beberapa partaduk, beramai-ramai menabur/memasukkan buliran padi ke dalam lubang. Padi ditanam pada juma roba bukaan baru pada tanah yang masih berunsur hara banyak, padi tumbuh baik walau tanpa dipupuk (kimia maupun kandang).
Martaduk, saat itu dilakukan dengan cara marsialapari atau marsidapari atau gotong royong. Setelah dari ladang si A, besok atau lusa gantian ke ladang B. Asyik, ramai, guyub, dan kompak. Fase pertama ini biasanya disediakan hidangan enak. Kalau saban hari hanya gulamo tinutun (ikan asin bakar), pada saat mangordang, menu biasanya daging lengkap dengan sayur setidaknya ikan teri sambal atau ikan rebus, ‘diarsik’. Padi tumbuh tinggi, waktunya padi berisi, bunting atau ‘boltok’. Saat itu banyak ancaman terhadap tanaman, entah hama semacam monyet, aili/babi hutan, maupun penyakit, termasuk musim yang kemarau panjang. Ada istilah puso, gagal panen.
Mungkin karena tingginya risiko itu, para leluhur atau pendahulu selalu sengaja membuat acara ritual yang dikenal kegiatan martondi eme. Diadakan acara doa bersama yang dipusatkan di satu ladang. Lalu di tempat itu doa diikuti makan besar bersama dengan lauk ikan sungat dan lomang (lemang) ada juga ‘sibak’, bahan dasar jagung ditumbuk dan didiamkan beberapa malam untuk fermentasi. Sehari sebelumnya, biasanya semua warga kampung memanen ikan mandurung tu bombongan nabolon, membuka tambak buatan dengan menanggul sungai. Mandurung dilakukan sekali setahun. Ikan yang lazim didapat adalah si birsak, pora-pora, ihan (dikenal dengan sebutan ikan Batak), limbat (lele).
Setelah makan, setiap rumah tangga lalu membawa serta ‘itak gurgur’ (beras tepung mentah dikasih gula, seperti lampet) dan ‘sanggar’ tanaman liar bangsa palm, dan bambu bekas tempat memasak lemak, bangun-bangun dan rudang. Semua itu digantung di setiap sudut ladang. Maksud dari ritual itu, doa agar padi berkembang dengan baik, jauh dari hama penyakit, dan panennya kelak memuaskan. Sehari sesudahnya disebut ‘manangsang robu’, hari pantang ke ladang padi tadi. Saat musim panen, tidak semua orang memanen dengan mudah. Saat itu, menggunakan alat sabit masih dianggap tabu, karena konon ‘tondi’ atau roh eme takut kalau padi dipotong pada batangnya, jadi leher padi yang ‘diotom’. Tapi sebagian orang yang lebih modern dan berpikir praktis, mulai berani ‘manabi’/sabit.
Untuk merontokkan buliran padi, dulu belum ada mesin.Lagi-lagi cara gotong royong yang ditempuh, dengan istilh mardege. Dege (injak). Jadi buliran padi diinjak-injak secara berkelompok. Biasa dilakukan sore hingga larut malam, bahkan pagi buta. Masa itu adaistilah mardege di rondang ni bulan, yang sering dimanfaatkan para muda-mudi mencari kenlan, pendekatan ,bahkan mencri jodoh Asyik memang. Siangnya dilanjutkan kegiatan ‘mamurpur’ membersihkan padi dari jerami atau membuang ‘halampung’, padi hampa, tak ada isi. Kemudian padi dijemur agar dapat ditumbuk.
Setelah panen, tibalah masa yang ditunggu-tunggu. Namanya ‘marsipaha lima’, pesta besar sambil mengucap syukur atas panen yang baik. Warga pun ramai-ramai ‘manduda i losung’, menumbuk padi menjadi beras. Manduda bersama-sama pada balok besar dan panjang, yang terdapat tiga sampai lima lubang ‘losung’. Satu ‘losung’, bisa ditumbu atau ‘diduda’ dua orang secara bersamaan, dengan ala atau ‘andalu” bergantian, selang-seling. Proses ini menggambarkan betapa berharganya sebulir beras/nasi di kala warga belum terbiasa mengonsumsi beras swah. Bukan karena tidak kenal, tetapi karena lemahnya daya beli yang hanya mengandalkan pemberian alam. Wajarlah, penduduk Sihaporas lebih banyak merantau, meninggalkan kampungnya yang masih tertingggal, jauh dari kemajuan.

0 Response to "Tradisi Marsialapari (Gotong royong) pada Masyarakat Mandailing Bangun Purba di Rokan Hulu Riau "

Post a Comment