Upacara adat saat
ini yang sering dilakukan masyarakat mandailing adalah :
1. Upacara Adat Siriaon/Horja
Haroan Boru/Pabuat Boru (Upacara Adat Perkawinan)
2. Upacara Adat Siluluton/Mambulungi
(Upacara Adat Kematian) dan
3. Horja Siulaon (Upacara Adat Berkarya).
Setiap masyarakat
mandailing yang sudah berumah tangga otomatis menjadi anggota dalam
melaksanakan dalihan na tolu serta bertanggung jawab
menyelesaikan upacara adat siriaon dan upacara adat siluluton
di tengah-tengah masyarakat adat tersebut. Sebelum acara adat
dimulai, maka ada perencanaan kegiatan yang namanya horja (pekerjaan) yang
berhubungan dengan hal urusan adat diperlukan suatu
kata sepakat. Hasil kesepakatan/ musyawarah adat tersebut namanya domu ni tahi.
Ada 3 tingkatan
horja yang juga menentukan siapa-siapa yang harus hadir di paradatan
tersebut, yaitu :
1. Horja dengan landasannya memotong ayam.
Horja ini yang diundang hanya kaum
kerabat terdekatnya dan undangannya cukup dengan hanya pemberitahuan
biasa saja.
2. Horja dengan landasannya memotong kambing.
Horja ini biasanya
disebut dalam paradatan, yaitu : pangkupangi. Yang diundang selain dari dalihan
na tolu, juga ikut serta namora natoras di huta tersebut Raja
Pamusuk.
3. Horja dengan landasannya
memotong kerbau
Horja ini dimana semua unsur-unsur
(lembaga-lembaga) adat diundang, baik yang ada di huta tersebut maupun yang ada
di luar huta, seperti raja-raja torbing balok, raja-raja dari desa na
walu dan raja panusunan.
Makna dan
filosofi horja adalah menunjukkan rasa syukur kepada Allah SWT, melaksanakan,
memelihara, mengembangkan dan melestarikan seluruh nilai-nilai leluhur
yang sudah berumur ratusan tahun, rasa kebersamaan, rasa tolong-menolong, rasa
kegotongroyongan, saling menghargai, saling menghormati dan juga memberi
manfaat kepada masyarakat.
1. Horja Siriaon (Upacara Adat
Perkawinan).
Dalam adat
istiadat perkawinan di masyarakat Mandailing dikenal dengan nama perkawinan manjujur,
bersifat eksogami patriarchat; artinya dimana setelah
perkawinan pihak wanita meninggalkan clannya dan masuk ke clan
suaminya dan suaminya menjadi kepala keluarga dan anak-anak yang dilahirkan
dari perkawinan itu akan mengikuti clan (marga) Bapaknya. Idealnya
perkawinan adat masyarakat Mandailing adalah antara anak namboru dengan
boru tulangnya.
Jujur
maksudnya untuk menjaga keseimbangan dari pihak keluarga wanita atas hilangnya
seorang anggota keluarganya yang masuk menjadi anggota keluarga suami. Pada
dasarnya benda yang akan diberikan sebagai jujur adalah berupa sere
atau mas kawin dan istilah menyerahkan uang jujur itu disebut manulak
sere yang berarti untuk masa sekarang sebagai bantuan untuk melengkapi
keperluan pihak gadis untuk barang bawaannya ataupun untuk tambahan biaya
pesta. Dalam proses manulak sere maka pihak laki-laki membawa batang
boban yang telah disepakati sebelumnya kerumah pihak perempuan.
2.
Pelestarian Horja Mambulungi/ Horja Siluluton
(Upacara Adat Kematian).
Didalam adat
istiadat Mandailing, seorang yang pada waktu perkawinannya dilaksanakan dengan
upacara adat perkawinan, maka pada saat meninggalnya juga harus dilakukan
dengan upacara adat kematian terutama dari garis keturunan Raja-Raja
Mandailing. Seorang anak keturunan Raja, apabila ayahnya meninggal dunia wajib
mengadati (horja mambulungi). Jika belum mengadati seorang anak atau
keluarganya tetap menjadi kewajiban /utang adat bagi keluarga yang disebut mandali
di paradaton dan jika ada yang akan menikah, tidak dibenarkan mengadakan
pesta adat perkawinanan (horja siriaon).
Pelaksanaan
Upacara Adat Kematian dilaksanakan:
1. Pada saat penguburan.
2. Pada hari lain yang akan
ditentukan kemudian sesuai dengan kesempatan dan kemampuan keluarganya.
Jika dalam horja
siriaon bendera-bendera adat yang dipasang di halaman menghadap keluar,
maka pada horja siluluton bendera-bendera adat dibalik menghadap ke rumah
sebagai tanda duka cita. Setelah beberapa tahun wafatnya Partomuan Lubis gelar
Patuan Dolok III dan Suti Nasution gelar Na Duma I, maka diadakan upacara adat
kematian (Horja Mambulungi) di Tamiang untuk mengucapkan banyak terima
kasih, meminta maaf atas perbuatan yang disengaja maupun tidak sengaja kepada
seluruh keturunan Baitang dan masyarakat Mandailing.
3. Horja Siulaon (Upacara Adat Berkarya).
Horja siulaon adalah upacara adat memulai
suatu bekerja (berkarya) secara bersama-sama untuk menyelesaikan suatu perkerjaan,
seperti : mendirikan rumah baru, membuka sawah, dan lain-lain. Horja siulaon
merupakan kearifan-kearifan lokal (local genius) pada dasarnya dapat
dipandang sebagai landasan bagi pembentukan jati diri suku bangsa secara
nasional. Kearifan-kearifan lokal itulah yang membuat budaya lokal memiliki
akar. Budaya etnik lokal seringkali berfungsi sebagai sumber atau acuan sebagai
sumber atau acuan bagi penciptaan-penciptaan baru. Pada dasarnya kearifan lokal
yang dapat dilihat dengan mata (tangible), seperti obyek-obyek budaya,
warisan budaya bersejarah dan kegiatan keagamaan dan kearifan lokal yang
tidak dapat dilihat oleh mata (intangible) yang berupa nilai atau makna
dari suatu obyek atau kegiatan budaya.
Kearifan
lokal Mandailing adalah segala sesuatu yang dimiliki oleh masyarakat
Mandailing di daerah tertentu yang merupakan ciri keaslian dan kekhasan
daerah tersebut tanpa adanya pengaruh atau unsur campuran daerah lainnya.
Pengembangan kearifan lokal suatu daerah akan mendorong rasa kebanggaan akan budayanya
dan sekaligus bangga terhadap daerahnya karena telah berperan serta dalam
menyumbang pembangunan budaya bangsa. Kearifan lokal (horja siulaon)
dapat dijadikan jembatan yang menghubungkan masa lalu dan masa sekarang,
generasi nenek moyang dengan generasi sekarang, demi menyiapkan masa depan dan
generasi mendatang. Pada gilirannya, kearifan lokal dapat dijadikan semacam
simpul perekat dan pemersatu antargenerasi. Tujuan utama melestarikan
kearifan lokal untuk menjamin keberlangsungan dan keberadaan dari
kearifan-kearifan lokal agar generasi terdahulu, sekarang dan yang akan datang
memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk menikmati kearifan lokal yang ada.
Sumber Referensi:
1. H. Mohamad Said, Soetan Koemala
Boelan (Flora), Raja, Pemimpin Rakyat, Wartawan, Penentang
2. Nasution, H. Pandapotan, SH, Adat
Budaya Mandailing Dalam Tantangan Zaman, Penerbit Forkala Prov. Sumatera Utara,
2005
0 Response to "Upacara Perkawinan, Kematian, dan adat berkarya Tapanuli Selatan"
Post a Comment