Perumpamaan-perumpamaan Suku Mandailing

Ulos Na Sora Buruk
maknanya adat yang tak pernah punah. Adat dilambangkan dengan ulos yang tidak akan pernah rusak sampai kapanpun
Mudah-mudahan nian, talak tangan muyu manarimona songoni muse dohot marbontar niate-ate
Mudah-mudahan kalian ringan tangan dan memiliki keikhlasan hati menerimanya. Marbontar ni ate-ate tidak dapat dilihat bentuknya oleh panca indera manusia tetapi secara konvensional dapat dipahami maknanya. Ia merupakan lambang kias yang harus diinterpretasikan maknanya. Apabila dikaitkan dengan dengan konteks kalimatnya metafora tersebut diucapkan oleh pihak anak boru kepada pihak mora pada waktu meminang. Dalam tuturan ini anak boru meminta kepada mora agar menerima mereka dengan senang hati dan rela. Dengan kata lain, tindak ilokusi yang terjadi adalah memberi kesan atau pengaruh agar mora sebagai lawan tutur mau mendengarkan sekaligus menerima anak boru dengan hati yang ikhlas. Dari metafora ini diketahui bahwa keikhlasan itu ada meskipun tidak dapat dilihat oleh panca indera manusia.
Horas tondi madingin pir tondi matogu
Selamat, semoga semangatya sejuk dan keras semangat
Manusia dalam pandangan masyarakat Mandailing terdiri dari tiga bagian yaitu, badan, jiwa (roh), dan tondi. Badan adalah jasad yang kasar dan nyata, jiwa atau roh adalah benda abstrak yang menggerakkan badan kasar dan tondi benda abstrak yang mengisi dan menuntun badan kasar dan jiwa dengan tuah sehingga seseorang kelihatan berwibawa dan bermarwah. Tondi adalah kekuatan, tenaga, semangat jiwa yang memelihara ketegaran rohani dan jasmani agar tetap seimbang dan kukuh dan menjaga harmoni kehidupan setiap individu. Tondi merupakan zat yang berdiri sendiri. Dalam keadaan tidak sadar tondi seseorang berada di luar badan dan jiwanya.
Dalam budaya Mandailing metafora ini bermakna seseorang akan sanggup menghadapi setiap ancaman dari luar. Orang yang tidak mempunyai tondi mukanya akan pucat dan tidak bergairah. Walaupu kadar tondi berbeda untuk setiap orang, tetapi setiap orang memiliki tondi tersebut. Tondi itu dapat berpisah dari badan seeorang karena sesuatu hal, Namun tondi yang telah hilang dari badan dapat dipanggil kembali melalui acara adat yang disebut mengupa. Apabila kita cermati, situasi tuturan terjadi pada saat pengetua adat atau raja memberi nasehat kepada kedua mempelai dan ilokusinya adalah agar keduanya dapat melaksanakan nasehat tersebut nantinya.
Anso ulang on manjadi ngot-ngot i bagasa ipon sagatungkol i bagasa ngadol
Supaya janga lagi terasa sakit di dalam gigi atau sakit di dalam graham
Maknanya cita-cita yang telah berhasil dilaksanakan oleh anak boru yang telah lama tertanam di dalam hatinya dan sekarag tidak lagi menjadi pikirannya.
Metafora ini disampaikan oleh suhut da anak boru kepada hatobangan pada waktu diadakan musyawarah sebelum acara perkawinan karena cita-citanya akan menunjukkan kasih sayangnya kepada anak laki-lakiya dengan membuat acara adat yang besar (marhorja) telah dapat dilaksanakan. Dalam budaya ini ketika seorang anak laki-laki lahir kedua orang tuanya merasa bangga dan bercita-cita akan membuat adat yang besar apabila anaknya nanti berumah tangga. Metafora ini juga bermakna pentingnya anak laki-laki karena ia akan meneruskan garis keturunan ayahnya. Dampak psikologisnya sangat berat apabila seseorang tidak mempunyai anak laki-laki karena ia akan kehilangan keturunan untuk seterusnya.
Mora mataniari so gokgohon, dapdap na so dahapon
Kita tidak dapat menantang matahari da pohon dapdap yag tidak dapat dipeluk
Mataniari `matahari` adalah benda angkasa yang mendatankan terang dan panas pada bumi di siang hari. Setiap orang tidak akan dapat menantang matahari karena panasnya. Metafora ini dikiaskan kepada pihak mora yang tidak boleh ditantang atau dilawan karena apabila dilawan akan menimbulkan bencana dan pihak ini dianggap melupakan dirinya sendiri sebagai manusia. Tuturan dari pihak anak boru ini secara lokusi menginformasikan keadaan dan secara ilokusi meminta da sekaligus menegaskan bahwa mora tidak boleh dilawan, hal ii senada dengan metafora dialo tondi, buruk pamatang Melawan diri sendiri badan jaualah yag menaggung akaibatnya.
Harana ditatap langit dao, ditombom tono pir, pirando pe na so ada
Kita melihat langit sangat jauh, kalau dipijakkan ke tanah keras, lebih keras lagi yang tidak ada.
Sebelum melaksanakan acara pernikahan pihak anak bor menyampoaikan maksudnya kepada mora sehubungan dengan beban yang harus ditanggulanginya. Karena keterbatasan kemampuan baik moril maupun materil aak boru menggunakan kata-kata yang mengandung makna merendahkan diri dengan maksud agar mora memaklumi keberadaannya, sehingga apa yang diinginkan kedua belah pihak tercapai. Tuturan aak boru ini secara lokusi memiliki makna menyatakan keadaan dan ilokusinya mengharapkan agar pihak mora mengerti akan kondisi anak boru dan tindak tutur porlukusinya adalah mora dapat memakluminya.
Di jolo muyu adong aek si tio-tio
Dihadapan kalian ada air sitio-tio
Bahwa air adalah sumber kehidupan. Semua kegiatan manusia tidak terlepas dari air. Tuturan ii bermakna agar kedua mempelai jangan memikirkan diri sendiri tetapi juga harus memikirkan orang lain. Tuturan ii disampaikan oleh orang tua kepada kedua mempelai. Tindak tutur ini disamping memberi informasi juga memiliki ilokusi agar kedua mempelai melaksanakan nasehat tersebut.
Ison adong santan pamorgo-morgoi, ibo rohan nian mago ma na milas
Disini ada santan yang dapat mendiginkan, yang dapat menghilangkan panas
Santan pamorgo-morgoi adalah santan yang dicampur dengan tepung dan gula disebut dengan itak, yang disediakan kepada tamu pada waktu memasuki acara memasuki rumah baru. Sebelum itak ini dimakan ada pihak yang memberikan kata nasehat kepada pemilik rumah. Mendirikan sebuah rumah dalam masyarakat Mandailing merupakan suatu prestasi yang harus dicapai. Kayu ayang akan digunakan untuk membangun rumah itu dikumpul satu demi satu sehingga berlangsung dalam waktu yang relatif lama karena mereka memperoleh kayu tersebut dari hutan. Suatu ketika bila bahan kayu yang dibutuhkan untuk mendirikan rumah telah mencukupi maka didirikanlah rumah tersebut. Metafora ini dituturkan oleh mora kepada anak boru yang telah berhasil mendirikan rumahnya dan dapat diinterpretasikan bahwa rumah yang akan ditempati ini hendaknya menjadi rumah yang aman dan tenteram bagi penghuninya dan rezeki yang datang akan berlimpah ruah. Dengan kata lain, rumah tersebut bertuah dan bertondi. Ilokusi dari tuturan ini selain memberi informasi sekaligus menyatakan bahwa rumah tersebut boleh dipakai oleh para tetangga untuk menampung tamu-tamu yang datang baik digunakan untuk tempat makan, tidur dan shalat selama horja yang ada di kampung itu dilaksanakan karena adat di Mandailing sifatnya kolektif. Orang yang sudah dapat mendirikan rumah dianggap sebagai orang yang sudah menerima tuah.
Ngada tola on jagar-jagar nami on mayup tu jae, angkon mayup tu julu do.
‘Anak gadis kami ini tidak boleh hanyut ke hilir, tetapi harus hanyut ke hulu’.
Metafora pada contoh ini adalah mayup tu julu ‘hanyut ke hulu’. Julu adalah hulu sungai merupakan bagian dari belahan bumi yang memiliki makna tidak langsug bila dikaitkan dengan konteks kalimat tersebut. Metafora ini memiliki makna orang yang berada, bangsawan dan tahu adat. Interpretasinya adalah bahwa pengantin laki-laki harus orang yang berada dan beradat sehingga kondisi ekonomi kedua mempelai tidak diragukan lagi setelah mereka memasuki hidup baru. Tuturan ini disampaikan oleh pihak suhut kepada pihak mora pada waktu meminang. Ilokusinya adalah meminta kepada pihak mora agar anak gadis mereka nantinya terpenuhi kebutuhannya. Contoh metafora lainnya adalah:
Tor marsitatapan, rura manjalahi pardomuan.
‘Dua bukit yang tingginya sama, dua sungai mencari tempat bersatu’
Metafora pada contoh di atas ini dilambangkan dengan tor masitatapan yang interpretasinya adalah bahwa dua keluarga yang akan bersatu berasal dari keluarga yang setara, sama-sama memiliki adat dan berasal dari keturunan yang baik-baik.
Laklak i ginjang pintu singkoru i golam-golom, maranak sapulu pitu marboru sapulu onom.
‘Laklak di atas pintu dan manik-manik yang dirangkai-rangkai, berputera 17 orang dan berputeri16’
Laklak adalah kulit kayu yang berupa pembungkus yang membuat tanaman tersebut dapat tumbuh dan  hidup. Bila kulit kayu dikupas, maka tanamannya akan layu dan mati. Dalam metafora ini laklak letaknya di atas pintu yang mempunyai makna sebagai pelindung keluarga. Posisi laklak yang berada di atas pintu sebagai jalan masuk ke rumah diinterpretasikan dengan pentingnya orangtua menanamkan prinsip melindungi dan bertanggung jawab bagi anak laki-laki meski dalam jumlah yang banyak.
Metafora Singkoru ‘manik-manik’ merupakan biji-bijian yang diikat dengan benang dan biasanya digunakan untuk hiasan. Dianalogikannya singkoru dengan anak perempuan memberi makna bahwa anak perempuan harus selalu kelihatan cantik dan metafora ini juga diinterpretasikan agar orangtua mampu mempersatukan keinginan anak perempuan yang beragam-ragam agar memiliki kepribadian yang menyatu sebagaimana bersatunya rangkaian manik-manik dalam jumlah yang banyak. Selain sifat-sifat yang telah disebutkan di atas, laklak dan singkoru juga memiliki sifat yang mudah terkelupas dan terputus. Dengan demikian metafora ini juga mengingatkan kedua mempelai yang bakal menjadi orangtua untuk tetap menjaga keutuhan agar dapat melindungi dan membimbing anak maupun borunya. Metafora maranak sapulu pitu marboru sapulu onom menunjukkan bahwa anak laki-laki itu lebih diutamakan daripada anak perempuan. Satu keluarga selalu mengharapkan anak pertamanya adalah anak laki-laki. Adapun anak yang berjumlah 33 orang dalam budaya Madailing menggambarkan peranan dalihan natolu yang menganggap anak saudara kita juga harus dianggap sebagai anak kita sendiri, sehingga setiap orang harus bertanggung jawab kepada kemanakannya. Dengan demikian timbul falsafah amak do rere, anak do babere ‘tikar itu adalah tikar, anak saudara perempuan kita adalah juga anak kita’ Tuturan ini disampaikan oleh hatobangon dalam membekali kedua mempelai agar menjadi orangtua yang mampu mendidik dan melindungi anak-anaknya di kemudian hari. Tindak tutur yang dsampaikan selain untuk mengingatkan juga mengharapkan agar nasihat yang disampaikan dilaksanakan oleh kedua mempelai. Metafora lainnya adalah:
Ulos na so ra buruk, gobak-gobak i ngali ni ari, hundung-hundung ni milas ni ari.
‘Selimut yang tidak pernah usang yang digunakan sebagai selimut di hari dingin dan pelindung di hari panas’
Konsep metafora ulos dianalogikan dengan adat. Dalam metafora ini adat dianggap dapat mendatangkan kehangatan dan menimbulkan keakraban kalau seseorang sedang berduka dan dapat dijadikan pelindung dalam suasana suka karena orang yang beradat akan merasa sempurna jasmani dan rohaninya.
Adat yang dikiaskan dengan ulos diberikan oleh pihak mora kepada anak boru dalam acara marbokkot bagas (memasuki rumah baru) karena anak borunya telah berhasil mendirikan rumah dan diharapkan rumah tersebut akan bertuah. Contoh lainnya adalah:
Titian batu na so ra buruk.
‘Titi batu yang tidak pernah lapuk’
Metafora titian batu na so ra buruk ini disampaikan oleh anak boru kepada suhut yang interpretasinya adalah bahwa kalau selama ini hubungan kekeluargaan antara kedua belah pihak belum begitu jelas, maka dengan terlaksananya pernikahan ini menjadi jelaslah hubungan kekeluargaan mereka dan diharapkan hubungan tersebut akan langgeng selamanya. Dengan demikian tindak tutur dalam ujaran ini adalah mempertegas keinginan anak boru dan mengharapkan adanya kebersamaan.
Napuran nami na opat ganjil lima gonop.
‘Sirih kami yang empat ganjil lima genap’
Metafora dengan lambang kias opat ganjil lima gonop maksudnya adalah apabila seseorang makan sirih biasanya sirih tersebut harus dicampur dengan kapur, gambir dan pinang sehingga jumlahnya empat macam. Campuran sirih tersebut belum dikatakan sempurna apabila belum disertai dengan tembakau sebagai unsur yang ke lima.
Metafora di atas ini dapat diinterpretasikan apabila seseorang melakukan suatu pekerjaan haruslah dipikirkan matang-matang dan dipersiapkan segala sesuatunya dengan bersungguh-sungguh sehingga menimbulkan hasil yang maksimal. Apabila dikaitkan dengan konteks DNT, setiap acara adat di Mandailing dapat dikatakan sah secara hukum adat apabila dihadiri oleh kelompok yang lima yaitu suhut, kahanggi, anak boru, mora dan harajaon. Contoh lainnya adalah:
I son tarida do i ibana ayu ara nagodang, batangna pade parsisandean, torjangna parsigantungan, banirna parholipan, bulungna parsilaungan.
`Di sini terlihat ada pohon kayu yang besar, batangnya tempat bersandar, akarnya tempat bergantung, akar besarnya tempat bersemubunyi, dan daunnya tempat berlindung’ Lambang kias pada metafora di atas adalah ayu ara na godang yang dikiaskan kepada seorang raja yang kuat, yang punya hukum adat, punya serdadu yang kuat (anak boru), punya istana, bersifat adil dan suka membantu orang yang susah. Tuturan ini disampaikan oleh pihak anak boru kepada suhut. Secara implisit tindak tutur dalam ujaran ini adalah meminta pihak suhut agar mau mewujudkan keinginan anak boru.
dapdap na so dahapon.
‘… pohon dapdap yang tidak bisa dipeluk’
Metafora pada contoh ini terdapat pada kata dapdap. Dapdap adalah sejenis pohon yang batangnya berduri dan biasanya tumbuh di kebun-kebun yang digunakan untuk melindungi tanaman coklat. Pohon ini tidak bisa dipeluk karena akan melukai diri kita sendiri. Untuk memahami makna metafora ini harus dikaitkan dengan budaya Mandailing dalam konsep dalihan na tolu yaitu pihak anak boru harus menjaga hubungan baik dengan mora. Apabila timbul salah paham dapat menyebabkan terjadinya malapetaka. Dengan demikian anak boru harus berhati-hati dan penuh pertimbangan apabila bergaul dengan mora.
na mangido ma mada hami on lopok ni tobu suanon.
‘… ami meminta stek tebu untuk bibit’
Metafora lopok ni tobu ‘stek tebu’ beranalogi dengan punya keturunan. Untuk memahami interpretasi metafora ini harus dikaitkan dengan konteks budaya Mandailing bahwa anak boru berharap agar anak gadis dari mora yang akan mereka pinang dan jadi isteri anak laki-laki mereka akan memiliki keturunan yang baik-baik.
Habang ninna lanok i laut siborang binoto do dia jantan sanga boru-boru.
‘Ia tahu lalat yang terbang di seberang lautan mana yang jantan dan mana yang betina’
Metafora dengan lambang kias lanok i laut siborang berasosiasi dengan kemampuan luar biasa yang dimiliki seseorang yang tidak dimiliki oleh orang yang biasa. Metafora ini dapat diinterpretasikan apabila mengacu kepada keseluruhan konteks kalimatnya yakni menggambarkan seorang raja dalam sistem dalihan na tolu harus memiliki kemampuan dan kebijaksanaan yang lebih dari masyarakat biasa untuk kepentingan bersama. Metafora ini disampaikan oleh panusunan bulung (raja) kepada kedua mempelai dan ilokusinya kedua mempelai menjadi orang yang bijaksana nantinya. Metafora lainnya adalah:
… rap kita tandai, na margading do on marbulele I Mandailing Godang.
‘… sudah kita ketahui bahwa mereka yang datang sesuai dengan adat istiadat yang berlaku di Mandailing’ Bulele dan gading biasanya dimiliki oleh seekor gajah. Metafora Margading do on marbulele bermakna bahwa pihak pengantin laki-laki yang datang adalah orang yang mempunyai kampung (bonabulu), memiliki keturunan (raja), adat istiadat dan kaya. Metafora ini juga memuat pesan bagi orang Mandailing agar berusaha lebih keras mencari nafkah dan tidak menjadi orang yang miskin. Tuturan ini disampaikan oleh pihak anak boru kepada suhut dan ilokusinya adalah meminta agar pihak suhut mau menerima pihak anak boru dengan baik.
Songon langkitang di batang aek, bope inda marsitandaan tai
marsihaholongan, muda ro musu marsijagoan.
‘Seperti siput di dalam air, walaupun tidak saling kenal tetapi mereka saling menghargai, kalau musuh datang mereka saling menjaga’ Langkitang adalah sejenis siput yang memiliki sifat kompak walaupun tidak saling kenal. Metafora ini bermakna agar kedua mempelai selalu memiliki kebersamaan dan suka tolong menolong untuk tujuan yang baik. Metafora ini disampaikan oleh raja kepada kedua mempelai. Tindak tuturnya berupa nasihat sekaligus mengharapkan agar kedua mempelai melaksanakan. Biasanya metafora ini selalu dikaitkan dengan metafora lain seperti:
Ulang iba songon gunting bola-bola, tai jadi ma antong iba songon jait domu-domu.
‘Jangan kita seperti gunting yang selalu memotong, tetapi jadilah seperti jarum yang selalu menyatukan dua benda’
i jolo muyu sada pangupa anak ni manuk pangupa ni tondi dohot badan
 di depan kamu upah-upah berupa ayam sebagai pembangkit semangat di dalam badan ….’
Metafora pada pangupa ini dilambangkan dengan manuk ‘ayam’ karena sifat ayam sangat bagus di dalam merawat anak-anaknya. Kalau ia mengais-ngais dan mendapatkan makanan makanan itu pertama-tama akan diberikan kepada anak-anaknya. Dalam budaya Mandailing  metafora ini bermakna anak perempuan harus tinggaldi rumah karena anak perempuan dapat merawat keluarga dengan baik. Metafora ini senada dengan metafora berikut ini:
♦ Parsonduk ni raja haposan.
‘Isteri raja haposan’
Makna tersirat dari metafora ini adalah seorang isteri harus berada di rumah’
Angkon adong on na manapor-napor on.
‘Harus ada yang memecah-mecahkan’
Metafora dengan lambang kias na manapor-napor bermakna pengantin hendaknya mendapat keturunan secepatnya. Situasi tutur adalah pada waktu pemberangkatan pengantin dari pihak perempuan ke pihak pngantin laki-laki dan anak boru dalam tuturannya mengharap agar kedua pengantin cepat memperoleh keturunan.
Muda dung pade pangalaho dapot hami on nian manggolom-golom tangan si amun, dohot manogu-nogu tangan siambirang.
‘Keinginan kami sudah tiba saatnya tangan kanan mampu tangan kiri menatah’



0 Response to "Perumpamaan-perumpamaan Suku Mandailing"

Post a Comment