Mari berbahasa ibu

Tanggal 21 februari yang lalu adalah hari bahasa ibu sedunia. Unesco menetapkan tanggal tersebut sebagai hari bahasa ibu sejak tahun 1999. Kprihatinan akan berangsur hilangnya bahasa-bahasa ibu telah menjadi perhatian bagi organisasi dunia yang menangani masalah pendidikan dan kebudayaan ini. Unesco menekankan pentingnya setiap bangsa menanamkan kesadaran akan urgensi pendidikan bahasa ibu kepada generasi penerusnya.
Para pemerhati bahasa memperkirakan sekitar 3000 bahasa akan punah diakhir abad ini. Disinyalir hanya separuh dari jumlah bahasa yang dituturkan oleh penduduk dunia saat ini yang masih eksis pada 2100 nanti.
Di Indonesia terdapat sedikitnya 617 bahasa daerah dar 2.348 daerah penelitian yang tersebar di seluruh tanah air, namun hanya 13 bahasa daerah yang tergolong aman karena karena penuturnya masih banyak, memiliki aksara dan tata bahasa, serta kamus. Selain itu bahasa-bahasa tersebut telah didokumentasikan, masih diajarkan di sekolah, serta digunakan di lingkungan keluarga maupun masyarakat luas. Ketiga belas bahasa daerah itu adalah bahasa Aceh, Batak, Melayu, Minangkabau, Rejang, Lampung, Sunda, Jawa, Madura, Bali, Sasak, Bugis, dan Makasar. Sebagian besar bahasa-bahasa daerah di bagian tengah dan timur Indonesia sekarang berada dalam kondisi kritis dan sebagian kecil menuju ambang kepunahan.
Berkurangnya penutur suatu bahasa atau bahasa daerah merupakan akibat dari perkembangan zaman dan tuntutan social penuturnya. Sebuah bahasa mati, antara lain karena proses bilingualisme, yaitu apabila bahasa kedua diadopsi untuk berbagai tujuan untuk menigkatkan jumlah penutur bahasa itu. Dalam pengalihan bahasa (language shift) dalam situasi bilingual, yang terjadi adalah pengabaian bahasa yang lama (ancestral) yang sudah dikenal terlebih dahulu untuk bahasa yang baru (nonancentral). Penguasaan bahasa baru itu meluas, melampau batas-batas generasi dan batas-batas generasi dan batas-batas dialectal sehingga bahasa yang lama itu menjadi bahasa minoritas (Dorian, 1994:135 dalam Sugiono,2006).
Kondisi bahasa-bahasa minoritas dapat dikaitkan secara operasional dengan lima tahap klasifikasi kondisi “kesehatan” bahasa. Wurm (dalam Lauder,2006), menjelaskan klasifikasi yaitu, (1). Potentially endangered language (bahasa-bahasa yang dianggap berpotensi terancam punah), yaitu bahasa yang secara social dan ekonomi tergolong minoritas serta mendapat tekanan yang cukup besar dari bahasa mayoritas. Generasi muda atau anak-anak sudah mlai berpindah ke bahasa mayoritas dan jarang menggunakan bahasa ibu; (2), endangered language (bahasa-bahasa yang dianggap terancam punah), yaitu bahasa yang tidak mempunyai generasi muda yang dapat berbahasa ibu. Penutur yang fasih hanyalah kelompok generasi tua (dewasa); (3) seriously endangered language (bahasa-bahasa yang diangap sangat terancam punah), yaitu bahasa yang hanya berpenutur generasi tua berusia dia atas lima puluh tahun: (4), moribund languages (bahasa-bahasa yang dianggap sekarat), yaitu bahasa yang dituturkan oleh beberapa orang sepuh yang berusia sekitar tujuh puluh tahun ke atas; dan (5), extinct language (bahasa yang dianggap punah), yaitu bahasa yang penuturnya tinggal satu orang sehingga tidak ada teman berkomunikasi dalam berbahasa itu.
Apa yang menimpa beberapa bahasa ibu di Indonesia dan di dunia tak ubahnya seperti ancaman eksistensi yang dialami oleh bahasa-bahasa daerah di Indonesia saat ini. Atas nama globalisasi banyak orang Indonesia mengganti begitu saja bahasanya dengan bahasa lain yang dianggap memiliki prestise. Disisi lain, bahasa Indonesia sebagai persatuan kerap “dipaksaan” sebagai bahasa yang harus dituturkan sehari-hari masyarakat di seluruh penjuru negeri sehingga”diam-diam” menyingkirkan bahasa-bahasa daerahnya.
Usaha untuk mempertahankan kelangsungan bahasa ibu menjadi bahasa yang bergengsi dan sarana komunikasi utama bukanlah pekerjaan mudah. Namun, beberapa hal yang bisa dijadikan sebagai acuan awal bagi pemangku kebijakan untuk memasyarakatkan bahasa ibu/daerah agar tetap terjaga kelestariannya adalah, (1). Language loyalty (memperkokoh loyalitas bahasa), language pride (kebanggaan berbahasa), (2). Jangan mematikan dialek-dialek bahasa daerah dengan memaksakan suatu dialek yang dianggap standar atau yang berpandangan miring terhadap suatu dialek bahasa daerah. Sekarang ini kita melihat upaya daerah upaya keras memperhatikan bahasa daerah dengan cara standarisasi bahasa daerah sambil meminggirkan dialek-dialek. Akibatnya, banyak dialek bahasa daerah terancam punah. Hal lain yang bisa dilakukan adalah mendorong penggunaan bahasa daerah di berbagai ranah, selain ranah percakapan sehari-hari, diantaranya: (1) sebagai bahasa pelayanan public (terutama di tingkat local), (2). Media elektronik dan cetak, (3). Dan di dalam kelas maupun di luar kelas. Gagasan revitalisasi bahasa daerah akan menemui jalan buntu apabila penggunaan bahasa daerah masih “dipenjara” dalam ruang lingkup yang terbatas.
Khir kata, hal lain yang dapat dianjurkan adalh mengubah pola piker kita. Harus ada sebuah rekayasa budaya, seperti yang disampaikan oleh Lauder (2006), seorang manusia Indonesia dapat dikatakan cendikia apabila sekurang-kurangnya menguasai tiga bahasa, yaitu bahasa daerah untuk membentuk jati diri, bahsa inggrish sebagai media menyerap ilmu pengetahuan dan berkiprah ditataran internasional,bahsa Indonesia sebagai media untuk berkiprash di tataran nasional.
Apabila tuntutan itu muncul, maka setiap manusia Indonesia dengan bangga menyatakan dirinya multilingual. Dengan sendirinya kebanggaan fasih berbahasa daerah dapat ditingkatkan sehingga budaya yang mendukung daya hidup bahasa daerah itu dapat dipertahankan secara alamiah. Jadi, fokuskita tidak hanya pada pelestarian bahasa tetapi juga pada budayawan. Bahasa dengan sendirinya akan punah jika kita merusak habitat budaya penuturnya. Semoga bahasa daerah bisa menjadi tuan di rumah kita masing-masing. 

0 Response to "Mari berbahasa ibu"

Post a Comment