Ulama-ulama
mazhab Hanafi, Maliki, Hambali dan sebagian besar ulama mazhab Syafi`I
berpendirian, bahwa yang harus dipergunakan sebagai cara untuk menentukan awal
dan akhir puasa adalah sisitem ru`yatu hilal.
Sebagian
ulama mazhab Syafi`I ada yang berpendapat, bahwa ru`yatul hilal harus dijadikan
dasar untuk menentukan awal dan akhir puasa bagi orang yang awam atau orang
yang tidak mengetahui ilmu hisab. Sedangkan system hisab boleh dipergunakan
untuk menentuakn awal dan akhoir puasa ramadhan. khusus bagi ahli hisab.
Dalil-dalil
yang dipergunakan oleh golongan ahli ru`yat antara alain :
1.
Hadist riwayat imam Bukhori :
Artinya
: Rosulullah SAW bersabda “berpuasalah kamu sekalian karena melihat hilal, dan
berlebaranlah kamu sekalian karena melihat hilal. Bila kamu sekalian tidak bias
melihat hilal, maka sempurnakanalah bilangan hari dari pada bulan sya`ban itu
selama 30 hari “.
Maksud
dari hadist ini adalah menerangkan tentang dua macam perintah Rosulullah SAW
terhadap umatnya yaitu :
a.
Perintah untuk berpuasa dan berlebaran
bila malam hari pada tanggal 30 Sya`ban dan pada 30 Ramadhan orang dapat
melihat hilal dengan mata kepalanya.
Perintah
ini dikuatkan oleh qoidah fiqhiyah yang berbunyi :
“perintah
terhadap sesuatu adalah berarti larangan terhadap sebaliknya”
Secara
mahfum mukholafah, hadist tersebut di atas menyimpulkan suatu ketetapan hokum,
bahwa bila pada malam tanggal 30 sya`ban dan tanggal 30 ramadhan hilal Ramadhan
dan hilal Syawal tidak dapat terlihat oleh mata, karena adanya mendung atau
sebab-sebab lainnya, maka keesokan harinya tidak boleh berpuasa (berlebaran).
b.
Perintah untuk menyempurnakan bilangan
dari pada bulan Sya`ban jumlahnya 30 hari, bila pada malam tanggal 29 Sya`ban
hilal Romadhon tidak dapat terlihat oleh mata kepala.
2.
Imam riwayat imam Muslim
Artinya
: diriwayatkan dari Ibnu Umar RA, bahwa sesungguhnya Rosulullah SAW
menceritakan Romadhon kemudian beliau memukulkan kedua tangannya dan
selanjutnya beliau bersabda : “sebulan itu adalah sekian dan sekian”, kemudian
beliau melengkungkan ibu jarinya pada perkataan ketiga kali (maksudnya satu
bulan itu jumlahnya 29 hari) maka berpuasalah kamu sekalian karena melihat
hilal, bila hilal tertutup oleh awan, maka pastikanlah bilang hari dari pada
bulan itu lamanya 30 hari”.
Dalam
hadist ini terdapat tambahan penegasan, bahwa pada bila pada malam hari pada
tanggal 29 Romadhon hilal Syawal tidak terlihatoleh mata kepala karena
terhalang oleh awan atau adanya sebab-sebab lain, maka bulan Ramadhon pada
tahun itu harus dipastikan sebagai suatu bulan yang seluruh harinya berjunlah
30 hari.
3.
Hadist riwayat ibnu Majah
Artinya
: Bila kamu sekalian melihat hilal Romadhon berpuasalah, dan bila kamu melihat
hilal Syawal maka berlebaranlah, bila hilal Syawal tidak terlihat karena
tertutup oleh awan berpuasalah 30 hari.
Lafaz
seperti yang tercantum dalam hadist ini atau hadist-hadis lain yang serupa,
tidak boleh diberi arti melihat hilal dengan hati atau dengan akal atau dengan
hisab ahli falaq, tetapi harus diberi arti melihat hilal dengan mata kepala,
karena dalam hadist ini juga dan dalam hadist lain setelah lafaz…itu sebagai
kelanjutannya terdapat lafaz…atau…atau…yang artinya : “bila hilal itu tertutup
oleh awan atau bila hilal itu tidak terlihat”.
Dengan
demikian, jelaslah bahwa lafaz…dalam hadist ini juga hadist-hadist lainnya yang
serupa, harus diberi arti : “Bila kamu sekalian melihat hilal dengan mata
kepala”
4.
Hadist riwayat Abu Daud
Artinya
: “Rosulullah SAW adalah sangat berhati-hati terhadap bulan Sya`ban
dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya kemudian beliau berpuasa karena melihat
hilal Romadhon. Maka bila hilal Romadhon tidak terlihat karena tertutup awan,
beliau menghitung lamanya bulan Sya`ban itu 30 hari”.
Hadist
ini menerangkan bahwa Rosulullah SAW bukan hanya memerintahkan untuk berpuasa
dengan menggunakan dasar ru`yatul hilal tetapi juga beliau memberikan contoh
dengan bentuk pekerjaan.
Beliau
di dalam memulai puasa Romadhon selalu menggunakan dasar ru`yatul hilal. Pada
malam hari tanggal 29 Sya`ban hilal Romadhon terlihat dengan mata kepala, esok
harinya beliau berpuasa, sedangkan pada malam hari itu terlihat hilal Romadhon
tidak terlihat, maka bulan Sya`ban pada tahun itu disempurnakannya berjumlah 30
hari
5.
Hadits Riwayat imam Malik
Artinya
: Diriwayatkan dari ibnu Abbas, Rosulullah SAW menceritakan bulan Ramadhan,
kemudian beliau bersabda : “janganlah kamu sekalian berpuasa dan berlebaran
kecuali setelah melihat hilal, maka bila hilal itu tidak dapat dilihat karena
tertutup awan, sempurnakanlah bilangan hari dari pada bulan itu lamanya 30
hari”.
Hadist ini dengan jelas
sekali menetapkan larangan di dalam hal memulai dan mengakhiri puasa kecuali
atas dasar ru`yatul hilal.
Imam
Al-hafid ibnu Hajar Al-asqolani menyatakan, bahwa sabda Rosulullah SAW yang
berbunyi …. (sempurnakanlah hari pada bulan itu lamanya 30 hari), adalah
merupakan penegasan bahwa hokum di dalam hal memulai dan mengakhiri adalah
telah merupakan suatu ketetapan yang tidak boleh dirubah yaitu ketetapannya
harus berdasarkan ru`yatul hilal.
Bunyi
dari susunan hadist adalah menunjukkan bahwa hokum di dalam hal memulai dan
mengakhiri puasa itu tidak boleh digantungkan pada hisab, karena Rosulullah
SAW tidak pernah mengatakan : “kalau
terjadi mendung bertanyalah kepada ahli hisab”.
Oleh
karena itu, jelaslah bahwa jalan yang harus ditempuh oleh umat Islam bila pada
malam hari tanggal 29 sya`ban dan tanggal 29 Romadhon, hilal tidak dapat
terlihat karena adanya mendung atau sebab-sebab lainnya, maka tidak ada
alternative lain sesuai dengan perintah Rosulullah SAW kita harus
menyempurnakan bilangan bulan Sya`ban dan bulan Ramadhan itu lamanya 30 hari.
6.
Hadist riwayat imam Tirmidzi
Artinya
: diriwayatkan dari ibnu Abbas, ia berkata : Rosulullah SAW bersabda :
“Janganlah kamu sekalian berpuasa sebelum masuk bulan Ramadhon, berpuasalah dan
berlebaran kamu sekalian bila melihat hilal, maka bila di bawah hilal itu
terlarang oleh awan atau yang lainnya sempurnakanlah bilangan dari pada bulan
itu lamanya 30 hari
Hadist
riwayat imam Tirmidzi ini dengan jelas sekali menunjukkan kepada kita bahwa
cara menetapkan masuk atau keluarnya bulan Ramadhan menurut tuntunan Rosulullah
ialah dengan mempergunakan ru`yatul hilal.
7.
Hadist riwayat imam Nasa`i
Diriwayatkan
dari Abu Hurairaoh ia berkata : Rosulullah SAW menceritakan tentang hilal,
kemudian beliau bersabda : “bila kamu sekalian melihat hilal Ramadhon berpuasalah, bila melihat hilal Syawal
berlebaranlah, bila hilal itu tidak dapat terlihat karena tertutup awan maka
hitunglah bulan itu selama 30 hari.
Dari seluruh hadist
yang telah tersebut di atas dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa Rosulullah di
dalam menentukan awal dan akhir puasa hanya memberikan contoh dengan dua macam
cara, yaitu :
1.
Dengan cara atau dasar “ru`yatul hilal”
melihat dengan mata kepala
2.
Dengan cara atau dasar istikamal yang
menyempurnakan bilangan hari dari pada bulan lamanya 30 hari.
Dasar istikmal ini
dipergunakan oleh Rosulullah bila pada malam hari tanggal 29 Sya`ban dan
tanggal 29 Ramadhon hilal tidak dapat dilihat
Pengarang kitab
“subulussalam” berkata : seluruh hadist tersebut adalah merupakan berbagai nash
yang menyatakan bahwa tidak boleh berpuasa dan berlebaran kecuali atas dasar
ru`yatul hilal atau atas dasar istikmal.
Imam Asy-Saukani dalam
kitab karangannya “nailul author” berpendapata sama dengan pengarang kitab
subulussalam yaitu ; didalam menetapkan awal dan akhir puasa dasar yang harus
dilaksanakan adalah dasar ru`yatul hilal
(melihat hilal dengan mata kepala), sedangkan apabila hilal tidak terlihat
dengan mata kepala, dasar selanjutynya yang harus dipergunakan adalah “istikmal”.
TENTANG HISAB AHLI
FALAQ
1.
Imam Asy-Syarqowi :
Keadaan
hilal itu ada tiga macam :
Keadaan
pertama : hilal sudah ada dan pasti
dapat dilihat
Keadaan
kedua : hilal sudah
ada dan mungkin dapat dilihat
Keadaan
ketiga : hilal sudah
ada da tidak akan mungkin dapat dilihat
2.
Imam Ar-Romli
a. Perkataan
ahli nujum tidak boleh dijadikan pegangan untuk menentukan awal dan akhir bulan
Romadhon
b. Ahli
hisab boleh mengamalkan ilmunya dalam menentukan awal dan akhir puasa Romadhon,
baik dalam keadaan hilal sudah ada dan mungkin dapat dilihat, atau hilal sudah
ada akan tetapi tidak mungkin dapat dilihat.
3.
Imam As-Syarwani
Ahli
hisab hanya boleh mengamalkan ilmunya dalam menentukan dalam keadaan hilal
sudah ada dan pasti dapat dilihat
Mengenai
persoalan bahwa orang awam tidak boleh bertaqlid kepada ahli hisab, dijelaskan
oleh imam As-Syarwani yang menjadi alasan adalah karena salah satu syarat dari pada
taqlid dalam maslah hokum yaitu pendapat yang akan diikuti tidak boleh
bertentangan dengan nash.
4.
Imam Ibnu Hajar Al-Haitami
Bahwa
sesuai dengan pendapat yang dinyatakan sahnya oleh imam An-Nawawi dalam kitab
“Al-majmu`, bahwa dalam menentukan awal dan akhir puasa tidak boleh diterima
perkataan ahli nujum dan ahli hisab serta tidak boleh bagi seorangpun bertaqlid
kepada keduanya. Dan bagi ahli nujum serta ahli hisab diperbolehkan mengamalkan
ilmunya, akan tetapi tidak mencukupkan dari pada pekerjaan fardhu atau dengan
perkataan lain, ahli hisab dan ahli nujum boleh mengamalkan ilmunya, akan
tetapi tidak syah dipergunakan untuk fardhu.
5.
Imam An-nawawi
Bahwa
pendapat yang paling shoheh dan alasannya yang paling kuat diantara
pendapat-pendapat tersebut di atas yaitu pendapat yang menyatakan bahwa ahli
hisab dab ahli nujum boleh mengamalkan ilmunya akan tetapi tidak syah digunakan
untuk sholat fardhu.
Di
dalam masalah ini imam Ar-rofi` juga mempunyai pendapat yang sama dengan
pendapat An-Nawawi, kemudaian An-Nawawi berkata :
a. Dalam
menafsirkan sabda nabi yang berbunyi :
Jumhur ulama menafsirkan dengan tafsir
“pastikanlah bilangan hari dari pada bilangan itu lamanya 30 hari”, bukan
dengan tafsir : “hitunglah dengan ilmu hisab”.
b. Tidak
wajib berpuasa Romadhon kecuali dengan terlihat hilal Romadhon, tidak terlihat
karena terhalang oleh mendung bulan Sya`ban, harus disempurnakan 30 hari.
Bahwa suatu keadaan mengenai hilal yang
ditetapkan berdasarkan ilmu hisab, tidak dapat disamakan dengan penetapan
berdasarkan ru`yatul hilal bil fi`lid an istikmal, karena syara` hanya
mengajukan dua jalan sebagai saksi untuk menetapkan hilal, yaitu :
a. Jalan
ru`yatul hilal bil fi`li
b. Jalan
istikmal atau menyempurnakan bilangan hari dari pada bulan lamanya 30 hari.
Kemudian
pendapat imam Syafi`I sendiri dalam masalah ini adalah sesuai dengan pendapat
kebanyakan ulama dalam mazhabnya, yaitu bahwa dalam menetapkan awal dan akhir
puasa harus dilakukan dengan dasar ru`yatul hilal atau istikmal
0 Response to " RU`YATUL HILAL"
Post a Comment