Kurun kurang lebih 650 tahun
kemudian, di bumi Hijaz muncul rangkaian wanita mulia selanjutnya, yakni ibunda
Muhammad Rasulullah Saw, Siti Aminah binti Wahb. Ia adalah wanita suci yang
berasal dari keturunan yang tidak pernah ternoda kehormatannya. Keterangan
mengenahi hal ini dapat disimak dalam hadits Nabi sebagai beriut, "Dan
selanjutnya Allah memindahkan aku dari tulang sulbi yang baik ke dalam rahim
yang suci, jernih dan terpelihara. Tiap tulang sulbi itu bercabang menjadi dua.
Aku berada dalam yang terbaik dari keduanya itu." (hadits syarif). Menurut
Al Hamid Al-Hamidi dalam Baitun Nubuwwah-nya mengatakan, makna umum dari hadits
tersebut ialah bahwa dari silsilah pihak ayah, Rasulullah saw berasal dari
keturunan yang suci dan bersih dari perbuatan tercela. Demikian pula dilihat
dari silsilah ibunya, beliaupun berasal dari keturunan yang tidak pernah
ternoda kehormatannya. Aminah binti Wahb lahir dari silsilah tua pasangan suami
istri bernama Wahb dan Barrah. Yang satu berasal dari Bani Abdu Manaf bin Zuhrah
bin Kilab dan yang lain berasal dari bani Abdul Manaf bin Quraisy bin Kilab.
Jadi, pada Kilab-lah akar silsilah ayah dan ibu Aminah binti Wahb. Suami Aminah
binti Wahb, Abdullah bin Abdul Muthalib, seorang pria dari Quraisy yang berbudi
luhur. Ayah Abdullah, Abdul Muthalib adalah pria yang disegani. Bahkan
kedudukannya sangat dihormati dan dicintai oleh semua penduduk Makkah, baik
yang berasal dari kabilah Quraisy maupun dari kabilah lain. Beberapa minggu
setelah pernikahan Aminah dengan Abdullah, pada suatu malam ia bermimpi ada
cahaya yang menerangi dirinya. Sungguh terangnya cahaya itu, hingga seolah-olah
Aminah dapat melihat istana-istana di Bushara dan di negeri Syam. Tidak berapa
lama sesudah itu, ia mendengar suara yang berkata. "Engkau telah hamil dan
akan melahirkan seorang termulia di kalangan ummat ini." Dengan gembira
Aminah menceritakan mimpinya itu kepada suaminya. Betapa gembiranya Abdullah
mendengar kabar tersebut. Akan tetapi rasa gembira itu hanya berlangsung
sejenak, yang disusul dengan kesedihan, karena ia harus bergabung dengan
kafilah dagang Quraisy. Tidak diketahui entah untuk berapa lama perpisahan itu
harus terjadi. Bahkan ketika sebulan sudah berlalu Abdullah belum juga pulang.
Hari berganti hari dan minggu berganti bulan, Aminah tetap tinggal di rumah,
bahkan lebih sering di tempat tidur. Satu-satunya yang menghibur adalah
keluarga Abdul Muthalib yang bertutur kata manis dan meriangkan. Sebagaimana
lazimnya wanita yag mengandung, Aminah juga mengidam. Namun keidaman yang dirasakannya
itu tidak seberat yang dirasakan wanita lain. Dengan kehamilannya itu Aminah
makin merindukan suaminya yang sedang bepergian jauh. Pada suatu pagi,
rombongan kafilah berjalan memasuki kota Makkah. Betapa senangnya Aminah karena
beberapa saat lagi ia akan bertemu kembali dengan suami terkasihnya. Tapi
hingga rombongan terakhir ia tidak mendapati Abdullah. Setengah berputus ada,
ia masuk ke dalam kamar dan berbaring. Baru beberapa saat ia merebahkan diri,
tiba-tiba ia mendengar suara pintu diketuk orang. Adakah yang datang suaminya?
Ia pun segera bangun membuka pintu, ternyata yang datang bukan Abdullah,
melainkan mertuanya, Abdul Muthalib bin Hasyim, ditemani ayahnya sendiri, Wahb,
dan beberapa orang dari bani Hasyim. Dengan penuh perhatian Aminah mendengarkan
kata-kata ayahnya. "Aminah, tabahkan hatimu menghadapi soal-soal yang
mencemaskan. Kafilah yang kita nantikan kedatangannya telah tiba kembali di
Makkah. Ketika kami tanyakan kepada mereka tentang keberadaan suamimu, mereka
memberitahu, bahwa suamimu mendadak sakit dalam perjalanan pulang. Setelah
sembuh ia akan segera kembali dengan selamat..." hiburnya. Dua bulan
Aminah menunggu, diutuslah Al-Harits oleh Abdul Muthalib untuk menyusul
Abdullah ke Yatsrib (Madinah) yang sedang sakit. Akan tetapi kedatangan
Al-Harits dari Yatsrib (Madinah) disambut duka cita yang mendalam setelah
mengabarkan, bahwa Abdullah telah wafat, di tengah kaum kerabatnya, Bani
Makhzum. Betapa hancur hati Aminah mendengar berita yang sangat menyedihkan
itu. Dua bulan ia menunggu kedatangan suaminya yang meninggalkan rumah dalam
keadaan pengantin baru, tetapi yang datang bukan Abdullah, melainkan berita
wafatnya. Akan tetapi akhirnya Aminah menyadari setelah ia memahami hikmah
kejadian yang memilukan itu. Pada waktu masih jejaka, Abdullah nyaris
dikorbankan nyawanya untuk memenuhi nadzar ayahnya, Abdul Muthalib. Ia selamat
berkat perubahan sikap ayahnya yang bersedia menebus nadzarnya dengan
menyembelih seratus ekor unta. Tampaknya Allah memberi kesempatan hidup sementara
kepada Abdullah hingga ia meninggalkan janin dalam kandungan istrinya. Beberapa
minggu menjelang kelahiran Muhammad, kota Makkah akan diserbu oleh Abrahah,
penguasa dari Yaman yang akan menghancurkan Ka'bah. Akan tetapi sebagaimana
diketahui, sebelum niatnya terwujud, Abrahah beserta beserta seluruh bala
tentaranya dihancurkan oleh Allah swt. Aminah melahirkan puteranya menjelang
fajar hari Senin bulan Rabi'ul Awwal tahun Gajah. Saat itu ia berada seorang
diri di dalam rumah, hanya ditemani seorang pembantunya, Barakah Ummu Aiman.
Karena kondisi kesehatnnya yang memburuk, Aminah tidak dapat mengeluarkan air
susu. Penyusuan bayi yang oleh kakeknya diberi nama Muhammad diserahkan kepada
Tsuaibah Al-Aslamiyah. Selanjutnya penyusuan berpindah kepada Halimah as-
Sa'diyah, seorang wanita yang berasal dari Bani Sa'ad bin Bakr. Setelah
mencapai usia lima tahun Muhammad dikembalikan kepada ibunya, Aminah. Pada
kesempatan itu Aminah bermaksud mengajak buah hatinya berziarah ke makam
ayahnya, Abdullah. Akan tetapi sungguh malang, dalam perjalanan pulang dari
Madinah ke Makkah, bunda Muhammad saw, ini wafat di sebuah pedusunan bernama
Abwa, terletak di antara Madinah dan Makkah. Selamat jalan ibu dari manusia
termulia Muhammad saw.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 Response to "Aminah Binti Wahab"
Post a Comment