Monday, August 28, 2017

Pesan Abu Bakar Menjelang Akhir Hayatnya

Hari itu penduduk muslim benar-benar berkabung. Waktu yang ditakuti, akhirnya datang juga. Saat subuh dini hari, tak seperti biasa. Di mimbar itu biasa Rasulullah berdiri, memimpin shalat subuh berjamaah. Namun kali ini, mimbar itu kosong.
Mata teduh Rasulullah yang setiap kali menyapa wajah sahabat sebelum shalat, pagi itu tak ada. Rasulullah terserang demam yang sangat parah. Abu Bakar yang menjadi orang kedua setelah Rasulullah telah bersiap-siap menjadi imam pengganti dengan segala keberatan hati.
Namun ketika hendak menunaikan shalat, terlihat Rasulullah menyibak tirai kamar Aisyah. Sebagian sahabat menangkap hal ini sebagai isyarat bahwa Rasulullah akan memimpin shalat seperti biasa.
Abu Bakar mundur dari mimbar, masuk ke dalam shaf makmun di belakangnya. Tapi dugaan mereka salah. Dari dalam kamar Rasulullah melambaikan tangan, memberi isyarat agar shalat diteruskan dengan Abu Bakar menjadi imam. Dengan gerakan yang sangat lemah Rasulullah menutup kembali tirai jendela dan menghilang di baliknya.
Seluruh jamaah seperti tercekam hati dan perasaannya. Sudahkah tiba waktunya? Demikian mereka bertanya-tanya dalam hati. Ketika hari beranjak siang, sakit Rasulullah pun bertambah berat. Di sisinya, Fatimah selalu menemani sampai detik-detik terakhir.
"Tak ada penderitaan atas ayahmu setelah hari ini." Demikian kata-kata Rasulullah yang sempat dibisikkan pada Fatimah. Lalu pupuslah bunga hidup manusia mulia itu.
Kabar sedih itu cepat sekali menyebar. Umar berdiri menancapkan pedangnya di tengah pasar. "Siapa saja yang berkata Rasulullah telah meninggal, akan aku potong tangan dan kakinya," teriak Umar.
"Rasulullah tidak meninggal, beliau menemui Rabbnya seperti Musa bin Imran pula. Beliau akan kembali menemui kaumnya setelah dianggap meninggal dunia." Kematian Rasulullah seakan-akan tak bisa diterimanya.
Di satu tempat, di sebuah dataran tinggi, tampak debu mengepul dengan dahsyatnya. Terlihat seekor kuda sedang dipacu dengan kerasnya, di atasnya Abu Bakar dengan wajah cemas tak tertahan. Ia berhenti tepat di depan masjid dan melompat turun masuk ke masjid seperti singa menerkam mangsanya.
Tanpa berkata pada siapa-siapa ia masuk menemui Aisyah dan melihat tubuh yang terbujur di pembaringan dengan kain penutup berwarna hitam. Sebentar dibukanya kain penutup itu, dan ditubrukkan tubuhnya memeluk jasad Rasulullah. Tangisnya meledak.
"Demi ayah ibuku sebagai tebusannya, Allah tidak akan menghimpun pada dirimu dua kematian. Jika saja kematian ini telah ditetapkan pada dirimu, berarti memang engkau sudah meninggal dunia." Abu Bakar berbisik lirih, seakan-akan berkata untuk menyakinkan dirinya sendiri. Kematian Rasulullah sudah digariskan, dan tak satupun mahluk mampu menghapus atau menunda garis itu.
Kemudian Abu Bakar keluar rumah dan mendapati Umar masih seperti semula, sedang berbicara pada orang-orang di sekelilingnya. "Duduklah wahai Umar," kata Abu Bakar. Namun Umar tetap berdiri seperti karang, tak tergoyahkan. Dan orang-orang mulai menghadapkan wajahnya pada Abu Bakar.
Setelah beberapa kali menarik napas panjang, Abu Bakar tampak bersiap-siap akan berkata. "Barang siapa diantara kalian ada yang menyembah Muhammad, maka sesungguhnya Muhammad telah meninggal dunia. Tapi jika kalian menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah itu Maha Hidup dan tak pernah meninggal."
Abu Bakar berhenti sejenak, kemudian melanjutkan lagi. Kini ia melantunan satu ayat, "Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rasul, sungguh telah berlaku sebelumnya beberapa orang Rasul. Apakah jika dia wafat atau terbunuh kalian akan berpaling ke belakang (menjadi murtad)? Barang siapa berpaling ke belakang, maka ia tidak mendatangkan mudharat sedikitpun pada Allah dan Allah memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur." (QS Ali Imran: 44)
Semua orang terpekur, menundukan kepala dalam-dalam. Andai saja bisa sepertinya mereka hendak membenamkan wajah pada padang pasir yang membantang. Ayat yang dibacakan Abu Bakar telah menyadarkan mereka. Padahal sebelumnya seakan-akan ayat ini tak pernah turun sebelum dibacakan Abu Bakar kembali.
Umar terjatuh. Kedua kakinya seakan tak sanggup menyangga beban berat badannya. Lututnya tertekuk, tangannya menggapai pasir. Di kemudian hari Umar berkata lagi tentang hari ini, "Demi Allah, setelah mendengar Abu Bakar membaca ayat tersebut aku seperti limbung. Hingga aku tak kuasa mengangkat kedua kakiku, hingga aku tertunduk ke tanah saat mendengarnya. Kini aku sudah tahu bahwa Rasulullah benar-benar sudah meninggal dunia."
Demikian Abu Bakar, di saat banyak orang lemah ia berusaha menjadi tegar. Ia seperti sebuah oase bagi musafir di tengah sahara. Ia seperti embun yang mendinginkan saat dada dan kepala sedang terbakar. Abu Bakar adalah telaga kebijakan.
Kisah hidup Rasulullah dan para sahabat memang telah banyak dituliskan. Namun entah kenapa, ia seperti mata air yang tak pernah kering. Setiap kali dituturkan, setiap kali pula memberikan nuansa baru. Benar-benar tak pernah kering. Begitu pula dengan kisah Abu Bakar.
Abu Bakar termasuk pelopor muslim pertama. Ia adalah orang yang mempercayai Rasulullah di saat banyak orang menganggap beliau gila. Abu Bakar termasuk orang yang siap mengorbankan nyawanya, di saat banyak orang hendak membunuh Rasulullah.
Nama awal Abu Bakar sebenarnya Abdullah bin Abu Quhafah. Dalam literatur lain disebutkan nama Abu Quhafah ini pun bukan nama yang sebenarnya. Usman bin Amir demikian nama lain Abu Quhafah.
Sebelum Islam, ia dipanggil dengan sebutan Abdul Ka'bah. Ada cerita menarik tentang nama ini. Ummul Khair, ibunda Abu Bakar sebelumnya beberapa kali melahirkan anak laki-laki. Namun setiap kali melahirkan anak laki-laki, setiap kali pula mereka meninggal. Sampai kemudian ia bernazar akan memberikan anak laki-lakinya yang hidup untuk mengabdi pada Ka'bah. Dan lahirlah Abu Bakar kecil.
Setelah Abu Bakar lahir dan besar ia diberi nama lain yang Atiq. Nama ini diambil dari nama lain Ka'bah, Baitul Atiq yang berarti rumah purba. Setelah Islam Rasulullah memanggilnya menjadi Abdullah. Nama Abu Bakar sendiri konon berasal dari predikat pelopor dalam Islam. Bakar berarti dini atau awal.
Kelak sepeninggal Rasulullah, kaum muslimim mengangkatnya sebagai khalifah pengganti Rasulullah. Tak mengherankan, karena sebelum Rasulullah mangkat pun Abu Bakar telah menjadi orang kedua setelah Rasulullah.
Bukan sembarang Rasulullah secara tak langsung memilih Abu Bakar menjadi orang kedua beliau. Suatu hari Rasulullah pernah mengabarkan tentang keutamaan sahabat sekaligus mertua beliau ini. "Tak seorangpun yang pernah kuajak masuk Islam yang tidak tersendat-sendat dengan begitu ragu dan berhati-hati kecuali Abu Bakar. Ia tidak menunggu-nunggu atau ragu-ragu ketika kusampaikan hal ini," sabda Rasulullah.
Hal ini pula yang akhirnya memberikan julukan As Sidiq di belakang nama Abu Bakar yang berarti selalu membenarkan. Abu Bakar memang selalu membenarkan Rasulullah, tanpa sedikitpun keraguan.
Ketika peristiwa Isra' mi'raj, Abu Bakar adalah orang pertama yang percaya saat Rasulullah menyampaikan hal itu. Tanpa setitikpun keraguan.
Abu Bakar hanya sebentar memegang kendali pemerintahan Islam setelah Rasulullah. Ia wafat dalam keadaan sakit. Meski banyak yang bilang kematiannya akibat diracun, namun hal itu tidak didukung data yang kuat.
Pada detik-detik akhir hidupnya Abu Bakar menuliskan sebuah wasiat untuk semua yang ditinggalkan. Demikian isinya:
"Bismillahirrahmanirrahim. Inilah pesan Abu Bakar bin Abu Quhafah pada akhir hayatnya dengan keluarnya dari dunia ini, untuk memasuki akhirat dan tinggal di sana. Di tempat ini orang kafir akan percaya, orang durjana akan yakin dan orang yang berdusta akan membenarkan. Aku menunjuk penggantiku yang akan memimpin kalian adalah Umar bin Khattab. Patuhi dan taati dia. Aku tidak akan mengabaikan segala yang baik sebagai kewajibanku kepada Allah, kepada Rasulullah, kepada agama, kepada diriku dan kepada kamu sekalian.
Kalau dia berlaku adil, itulah harapanku, dan itu pula yang kuketahui tentang dia. Tetapi kalau dia berubah, maka setiap orang akan memetik hasil dari perbuatannya sendiri. Yang kuhendaki ialah yang terbaik dan aku tidak mengetahui segala yang gaib. Dan orang yang dzalim akan mengetahui perubahan yang mereka alami. Wassalamu'alaikum wa rahmatullahi wa barakatuhu." Semoga Allah merahmati dan menempatkan pada sisi yang terbaik. Amin.

Model Pembelajaran Salam Sapa

Adalah memberikan instruksi kepada peserta, jika si pemateri menyebutkan halo, maka peserta jawab hai, dan jika si pemateri menyebutkan hai, maka peserta menjawab halo

Langkah-langkah
1.Si pemateri memberikan aba-aba halo kepada peserta, mereka jawab hai, dan jika aba-aba hai mereka menjawab halo
2.Kata halo atau hai bisa dilipat gandakan, contoh : si pemateri, halo, halo, hai, peserta : hai, hai, halo
3.Permainan ini hanya memerlukan suara dan konsentrasi
4.Jika peserta salah dalam menjawab, bisa maju ke depan untuk menghibur peserta lainnya

Model Pembelajaran Introduction

Adalah saling menyebutkan nama, alamat, dan hobinya masing-masing, kemudian tunjuk salah satu peserta untuk menyebutkan nama, hobi dan asal temannya secara acak

Langkah-langkah :
1.Buatalah lingkaran yang beranggotakan 10 orang peserta saling mengenalkan diri
2.Beri waktu 10 menit untuk peserta saling mengenalkan diri
3.Setelah itu si pemateri menyebutkan “cobalah terka siapa aku kawan belajar siapa namanya”
4.Peserta yang ditunjuk supaya menyebutkan nama, hobi, dan asal temannya
5.Jika peserta tidak menjawab dengan benar, maka diberi sangsi menghibur

Model Pembelajaran (C2AQ) Choice Correct Answer atau Choice Corrrect Question)

Adalah memindahkan kartu yang telah disuguhi jawaban atau pertanyaan ke sebuah wadah (empat penjuru mata angin) yang telah diberi tanda masing-masing, sehingga mudah dikenali

Langkah-langkah
  1.  Susunan bangku membentuk empat penjuru mat angin (Barat, Timur, Selatan, Utara))
  2.  Peserta didik boleh memilih tempat yang ia sukai asalkan pembagian kelompok sama banyaknya
  3.  Setiap kelompok memilih wakilnya tiga orang untuk adu kecepatan dan ketangkasan dengan kelompok lain
  4.  Bagi kelompok yang tercepat memindahkan kartu, maka merekalah pemenangnya

Asal Mula Ngidam



Bermula dari seorang ibu hamil yang ditinggal oleh suaminya beberapa hari, suaminya berpesan supaya nangka yang didepan rumahnya jangan diambil. Tapi sang ibu ini tak menghiraukan pesan tersebut, keinginannya (pengidaman) untuk memakan nangka itu tak tertahankan lagi, hingga iapun mengambil nangka tersebut dengan cara memotong sedikit bagian nangka tadi, kembali sang ibu ini menutup bagian yang ia potong tadi sehingga kelihatan seperti semula.
Keesokan harinya suamipun datang, sang istripun menyambutnya dengan suka cita, belum ada tanda-tanda di wajah istrinya perasaan bersalah. Ketika sang suami memeriksa nangkanya tiba-tiba terdengar suara bentakan yang keras menghardik istrinya. Tanpa berfikir panjang dibelah perut istrinya tadi dan alangkah terkejutnya sang suami ketika melihat anak yang dalam perut ibunya tadi sedang memegang nangka tersebut. Akhirnya sang ayahpun menangis menyesali perbuatannya

Wednesday, August 23, 2017

ABU AYUB AL-ANSHARI

Nama lengkapnya Khalid bin Zaid bin Kulaib. Beliau berasal dari keluarga Bani Najjar. Mendapatkan kehormatan untuk tempat singgah Rasul setelah sampai di Madinah pada saat berhijrah. Pada saat Rasul memasuki Madinah semua kaum Anshar berharap agar beliau tinggal di rumah mereka. Secara silih berganti mereka menghalangi unta Nabi dengan maksud untuk diarahkan ke rumah mereka. Tetapi Nabi mengatakan, “Biarkanlah unta ini! Dia telah diperintahkan.” Maka unta beliau pun terus berjalan dan baru berhenti di halaman rumah Abu Ayub Al-Anshari.
Abu Ayub gembira sekali melihat hal itu, maka dengan tergopoh-gopoh ia menghampiri dan menyambut Nabi dengan hati gembira bercampur haru. Dia pun membawa barang bawaan Nabi masuk ke rumahnya. Ketika itu dia merasakan seolah membawa seluruh isi kekayaan dunia.
Rumahnya terdiri dari dua tingkat. Nabi memilih tingkat pertama, agar lebih mudah menemui para sahabat yang datang. Tetapi hal itu membuat Abu Ayub Al-Anshari tidak bisa tidur semalaman. Dia merasa tidak sopan untuk tidur di atas Nabi. Karenanya, dia mendatangi Nabi di pagi hari dan meminta beliau untuk pindah ke tingkat atas. Seketika itu wajah Nabi berseri-seri, lalu mengatakan, “Jangan repotkan dirimu, Abu Ayub! Tingkat bawah lebih cocok bagi kami karena banyaknya orang yang datang.” Abu Ayub mengatakan, “Aku, mematuhi perintah Rasul itu. Hingga pada suatu malam yang sangat dingin, kendi kami pecah dan airnya tumpah ke lantai. Karena takut tumpahan air itu sampai ke tingkat bawah, tempat Rasul, aku dan istriku cepat-cepat berdiri dan menghampiri tempat tumpahan air itu, lalu mengelapnya dengan sehelai kain beledu, satu-satunya kain yang kami punya dan biasa kami pakai untuk selimut. Di pagi harinya, aku menemui Nabi dan mengatakan, ‘Demi bapakku, engkau dan ibuku! Aku tidak suka berada di atasmu, dan tidak suka engkau berada di bawahku.’ Lalu aku sampaikan cerita kendi tadi dan Rasul pun mau memahami dan naik ke tingkat atas. Aku dan istriku turun ke tingkat bawah.”
Rasul tinggal di rumah Abu Ayub Al-Anshari selama kurang lebih 7 bulan. Yaitu sampai selesai membangun Mesjid Nabi dan kamar-kamar yang berada di sampingnya. Nabi kemudian tinggal di kamar-kamar itu.
Abu Ayyub Al-Anshari berhati lembut, sangat menyintai Rasul, dan ringan tangan. Memiliki sebatang pohon kurma yang dia pakai untuk menghidupi diri dan keluarganya.
Dia juga salah seorang pahlawan Islam. Mengikuti semua peperangan yang terjadi pada masa Rasul dan peperangan perluasan Islam setelahnya. Kecuali bila terjadi lebih dari satu peperangan dalam waktu yang bersamaan.
Pada masa Muawiyah, dia mengikuti pasukan yang dikirimnya untuk menaklukkan Konstantinopel padahal umurnya sudah mendekati 80 tahun. Di tengah perjalanan laut dia jatuh sakit. Pada saat menjenguk, Yazid bin Muawiyah, panglima perang saat itu, bertanya kepadanya, “Engkau mempunyai permintaan, wahai Abu Ayub?” Dia meminta bila mati agar dibawa oleh tentara dan dikuburkan di bawah pagar Konstantinopel. Dan ternyata dia meninggal pada saat itu.
Mayatnya dibawa oleh tentara di tengah-tengah pertempuran. Atas kehendak Allah, pasukan ?Islam sampai juga ke pagar Konstantinopel, maka mulailah mereka menggali kuburan dan menanam Abu Ayub Al-Anshari di sana.

ABUL ASH BIN RABI

Abul Ash bin Rabi al-Absyami al-Quraisyi, seorang pemuda kaya, tampan-rupawan, mempesona setiap orang yang memandang kepadanya. Dia berkecimpung dalam kenikmatan, dengan status sosial yang tinggi sebagai bangsawan. Dia menjadi model bagi ahli-ahli penunggang kuda bangsa Arab dengan segala persoalannya, kesombongan, cirri-ciri kemanusiaan, kesetiaan, dan kebangsaaan warisan nenek moyang atau turunan.
Abul Ash memang mewarisi dari Quraisy bakat dan keterampilan berdagang pada dua musim, yaitu musim dingin dan musim panas. Kendaraannya tidak pernah berhenti pulang dan pergi antara Mekah dan Syam. Kafilahnya mencapai jumlah seratus ekor unta dan dua ratus personel. Masyarakat menyerahkan harta mereka kepadanya untuk diperdagangkan, karena dia telah membuktikan kepintaraannya dalam berdagang, dan dia selalu benar dan dapat dipercaya.
Khadijah binti Khuwailid, istri Muhammad bin Abdullah, adalah bibi Abul Ash bin Rabi. Khadijah menganggap Abul Ash sebagai anak kandungnya sendiri, dan melapangkan tempat baginya di hati dan di rumahnya, suatu tempat yang tidak ada taranya, terhormat dan penuh kasih sayang. Begitu juga kasih sayang Muhammad bin Abdullah kepada Abul Ash, tidak kurang pula dari kasih sayang Khadijah kepadanya.
Tanpa terasa, tahun demi tahun berlalu cepat melewati rumah tangga Muhammad bin Abdullah. Anaknya yang tertua telah menjadi putri remaja, berkembang seabgai bunga ros mengorak kelopak dengan indahnya. Sehingga pemuda-pemuda putra para bangsawan Mekah tergiur hendak memetiknya. Mengapa tidak ..? bukankah Zainab gadis Quraisy keturunan bangsawan murni yang berakar dalam. Sebagai putri dari ibu bapak yang mulia, dia beradab dan berakhlak tinggi. Tetapi, bagaimana mereka akan dapat memetiknya? Di antara mereka telah hadir putra bibi Zainab sendiri, seoran pemuda ganteng dan rupawan, yaitu Abul Ash Ibnu Rabi yang tidak asing lagi.
Belum begitu lama, baru beberapa tahun, berlangsung perkawinan Zainab binti Muhammad dengan Abul Ash, nur ilahi yang cemerlang memancar di kota Mekah yang diselimuti kesesatan. Allah SWT mengutus Muhammad sebagai nabi dan rasul-Nya dengan agama yang hak. Pada tahapan pertama Allah memerintahkan Nabi saw. supaya mengajak keluarga terdekat. Maka, wanita yang pertama-tama beriman, ialah istrinya, Khadijah binti Khuwailid, dan putri-putrinya: Zainab, Ruqayyah, Ummu Kaltsum, dan Fathimah, sekalipun ketika itu Fathimah masih kecil, kecuali menantunya, Abul Ash. Dia enggan berpisah dengan agama nenek moyangnya dan enggan pula menganut agama istrinya, Zainab. Meski demiikian, Abul Ash tetap mencintai istrinya. Cintanya kepada Zainab tetap tulus dan murni.
Ketika pertentangan antara Rasulullah dengan kaum kafir Quraisy semakin meningkat, mereka saling menyalahkan, "Celaka kalian ..! sesungguhnya kalianlah yang membawa kesusahan. Kalian nikahkan putra-putri kalian dengan putri-putri Muhammad. Seandainya kalian kembalikan putri-putri Muhammad itu kepadanya, kita tidak akan memikirkannya lagi.
Jawab yang lain, "Itu suatu pemikiran yang bagus!" Lalu, mereka pergi menemui Abul Ash!
Kata mereka, "Hai Abul Ash, ceraikan isterimu! Kembalikan dia ke rumah bapaknya! Kami sanggup dan bersedia mengawinkanmu dengan siapa yang engkau sukai dari segudang wanita Quraisy yang cantik-cantik."
Jawab Abul Ash, "Tidak! aku tidak akan menceraikannya. Aku tidak hendak menggantikannya dengan wanita mana pun di seluruh dunia ini."
Dua orang putri Rasulullah, Ruqayah dan Ummu Kaltsum telah dicerai oleh suaminya dan diantar kemabli ke rumah bapaknya. Rasulullah gembira menerima kedua putrinya itu. Bahkan, beliau ingin kiranya Abul Ash mmelakukan pula hal yang sama terhadap istrinya, Zainab. Tetapi apa boleh buat, beliau tidak kuasa untuk memaksakan keinginannya itu. Di samping itu, ketika itu hukum Islam belum mengharamkan perkawinan wanita mukminah dengan pria musyrik.
Setalah Rasulullah saw. hijrah ke Madinah, kaum Quraisy memerangi beliau di Badar. Abul Ash terpaksa ikut berperang di pihak Quraisy, memrangi Rasulullah dan kaum muslimin. Dia memang sungguh-sungguh terpakasa karena tidak ada sedikit pun keinginan berperang dengan Rasulullah dan kaum muslimin. Dan, tidak ada satu kepentingan yang akan diperolehnya dengan memerangi mereka. Hanya, karena ia berdomisili bersama kaum yang memerangi Muhammad saw.
Perang Badar membawa kekalahan besar yang memalukan bagi kaum Quraisy, sehingga menundukkan puncak kesombongan kemusyrikan, keangkuhan, keganansan, dan kekejaman mereka. Di antaranya ada yang terbunuh, ada yang tertawan, dan ada pula yang melarikan diri. Abul Ash, suami Zainab binti Muhammad, termasuk kelompok orang yang tertawan.
Rasulullah mewajibakan setiap tawanan menebus diri mereka dengan uang tebusan, jika mereka ingin bebeas. Beliu menetapkan uang tebusan itu antara seribu sampai dengan empat ribu dirham, sesuai dengan kedudukan dan kekayaan tawanan itu dalam kaumnya. Maka, berdatanganlah para utusan pulang dan pergi antara Mekah dan Madinah membawa uang untuk menebus orang-orang yang tertawan.
Zainab binti Muhammad mengutus utusan ke Madinah dengan uang tebusan untuk menbus suaminya, Abul Ash. Dalam uang tebusan itu terdapat antara lain sebuah kalung milik Zainab, hadiah dari ibunya, Khadijah binti Khuwailid, pada hari perkawinan Zainab dengan Abul Ash. Ketika Rasulullah melihat kalung tersebut, wajah beliau berubah sedih dengan kesedihan yang sangat mendalam, membayangkan rindu kepada anaknya, Zainab, atau mungkin teringat dengan almarhumah istrinya, Khadijah binti Khuwailid.
Rasulullah menoleh kepada para sahabat seraya berkata, "Harta ini dikirim oleh Zainab untuk menebus suaminya, Abul Ash. Jika tuan-tuan setuju, saya harap tuan-tuan bebaskan tawanan itu tanpa uang tebusan. Uang dan harta Zainab kirimkan kembali kepadanya." Jawab para sahabat, "Baik, ya Rasulullah! Kami setuju!
Rasulullah membebaskan Abul Ash dengan syarat dia mengantarkan zainab kepada beliau. Maka, setibanya di Mekah, Abul Ash segera berbuat sesuatu untuk memenuhi janjinya kepada Rasulullah. Diperintahkan istrinya agar segera bersiap untuk melakukan perjalan jauh ke Madinah. Para utusan Rasulullah menunggu tidak jauh dari luar kota Mekah. Abul Ash menyiapkan perbekalan dan kendaraan untuk kepergian istrinya. Abul Ash menyuruh adiknya, Amr bin Rabi, mengantar Zainab dan menyerahkannya kepada utusan Rasulullah.
Amr bin Rabi menyandang busur dan membawa sekantong anak panah. Zanab dinaikkannya ke Haudaj. Mereka pergi ke luar kota tengah hari, dihadapan orang banyak kaum Quraisy. Melihat mereka pergi, orang-orang Quraisy bangkit marahnya dan heboh. Lalu, mereka susul keduanya dan mereka dapatkan belum jauh dari kota. Zainab mereka takut-takuti dan mereka ancam. Tetapi, Amr telah siap dengan busur panah dan meletakkan kantong anak panah di hadapannya. Kata Amr, "Siapa mendekat, aku panah batang lehernya."
Amr menang, terkenal dengan pemanah jitu yang titak pernah gagal bidikannya. Di tengah-tengah suasana tegang seperti itu, tibalah Abus Sufyan bin Harb yang sengaja dihubungi mereka. Kata Abu Sufyan, "Hai, anak saudaraku! letakkan panahmu! Kami akan bicara denganmu."
Amr meletakkan panahnya. Kata Abu Sufyan, "Perbuatanmu ini tidak betul, hai Amr. Engkau membawa Zainab keluar dengan terang-terangan di hadapan orang banyak dan di depan mata kami. Orang Arab seluruhnya tahu akan kekalahan mereka di Badar dan musibah yang ditimpakan bapak Zainab kepada kami. Bila engkau membawa Zainab secara terang-terangan begini, berarti engkau menghina seluruh kabilah ini sebagai penaku, lemah dan tidak berdaya. Alangkah hinanya itu. Karena itu, bawalah Zainab kembali kepada suaminya untuk beberapa hari. Setelah penduduk tahu kami telah berhadil mencegah kepergiannya, engkau boleh membawanya seara diam-diam dan sembunyi-sembunyi, jangan dia siang bolong seperti ini. Engkau boleh mengantarkannya ke bapaknya. Kami tidak mempunyai kepentingan apa-apa untuk menahannya.
Amr setuju dengan saran Abu Sufyan. Dibawanya Zainab kembali ke rumah suaminya di Mekah. Sesudah beberapa hari kemudian Amr membawa Zainab ke luar kota dengan sembunyi-sembunyi pada tengah malam, dan menyerahkanknnya kepada para utusan bapaknya dari tangan ke tangan, sebagaimana dipesankan abangnya, Abul Ash bin Rabi.
Sesudah berpisah dengan istrinya, Abul Ash tetap tinggal di Mekah bebrapa waktu hingga menjelang pembebasan kota Mekah. Dia berdagang ke Syam sepreti yang biasa dilakukannya sebelumnya.
Pada suatau hari dalam perjalanan pulang ke Mekah, dia menggiring seratus ekor unta sarat dengan muatan, dan seratus tujuh puluh personel yang menggiring unta tersebut. Di tangah jalan, dekat Madinah, kafilahnya dicegah oleh pasukan patroli Rasulullah. Unta-untanya dirampas dan orang-orang yang menggiringnya ditawan. Tetapi, mujur bagi Abul Ash, dia lolos dari tangkapan dan bersembunyi. Setelah malam tiba dan hari sudah gelap, dia masuk ke kota Madinah dengan sembunyi-sembunyi dan hati-hati sekali. Sampai di kota dia mendatangi rumah Zainab, minta bantuan dan perlindungan kepadanya. Zainab melindunginya.
Ketika Rasulullah saw. keluar hendak salat subuh, beliau berdiri di mihrab, dan takbir ihram. Jamaah pun takbir mengikuti beliau. Zainab berteriak dari shuffah (tempat para wanita). Katanya, "Hai, manusia! saya Zainab binti Muhammad! Abul 'Ash minta perlindungan kepada saya. Karena itu, saya melindunginya!"
Setelah selesai salat, Rasulullah berkata kepada jamaah, "Adakah tuan-tuan mendengar teriakan Zainab?"
Jawab mereka, "Ada ...! Kami mendengarnya, ya Rasulullah!"
Kata Rasulullah, "Demi Allah yang jiwaku dalam genggaman-Nya! Saya tidak tahu apa-apa tentang hal ini, kecuali setelah mendengar teriakan Zainab."
Kemudian Rasulullah pergi ke rumah Zainab. Katanya, "Hormatilah Abul Ash! Tetapi, ketahuilah, engkau tidak halal lagi baginya."
Lalu, beliau memangil pasukan patroli yang bertugas semalam, dan menangkap unta-unta serta menahan orang-orang dari kafilah Abul Ash. Kata beliau kepada mereka, "Sebagaimana kalian ketahui, orang ini (Abul Ash) adalah famili kami. Kalian telah merampas hartanya. Jika kalian ingin berbuat baik, kembalikanlah hartanya. Itulah yang kami sukai. Tetapi, jika kalian enggan menggembalikan, itu adalah hak kalian, karena harta itu adalah rampasan yang diberikan Allah untuk kalian. Kalian berhak mengambilnya."
Jawab mereka, "Kami kembalikan, ya Rasulullah!" Ketika Abul Ash datang mengambil hartanya, mereka berkata kepadanya, "Hai Abul Ash! Engkau adalah seorang bangsawan Quraisy. Engkau anak paman Rasulullah dan menantu beliau. Alangkah baiknya kalau engkau masuk Islam. Kami akan serahkan harta ini semuanya kepadamu. Engkau akan dapat menikmati harta penduduk Mekah yang engkau bawa ini. Tinggallah bersama kami di Madinah."
Jawab Abul Ash, "Usul kalian sangat jelek dan tidak pantas. Aku harus membayar utang-utangku segera." Abul Ash berangkat ke Mekah membawa kafilah dan barang-barang dagangannya. Sampai di Mekah dibayarnya seluruh utang-utangnya kepada setiap orang yang berhak menerimanya. Kemudian dia berkata, "Hai kaum Quraisy! Masih adakah orang yang belum menerim pembayaran dariku?"
Jawab mereka, "Tidak! Semoga engkau dibalasi Tuhan dengan yang lebih baik. Kami telah menerima pembayaran darimu secukupnya."
Kata Abul Ash, "Sekarang ketahuilah! Aku telah membayar hak kamu masing-masing secukupnya! Maka, kini dengarkan! Aku mengaku tidak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad sesungguhnya Rasulullah! Demi Allah! tidak ada yang menghalangiku untuk menyatkan Islam kepada Muhammad ketika aku berada di Madinah, kecuali kekhawatiranku kalau-kalau kalian menyangka aku masuk Islam karena hendak memakan harta kalian. Kini setelah Allah membayarnya kepada kamu sekalian dan tanggung jawabku telah selesai, aku menyatkan masuk Islam."
Abul Ash keluar dari Mekah, pergi menemui Rasulullah saw. Beliau menyambut mulia kedatangannya, dan menyerahkan istrinya Zainab kembali ke pangkuannya.
Rasulullah berkata, "Dia berbicara kepadaku, aku mempercayainya. Dia berjanji kepadaku, dia memenuhi janjinya."


Tuesday, August 15, 2017

Tragedi Cinta Dunia



Seorang pria berjalan mengiringi Nabi Isa. Begitu sampai dipinggir sebuah sungai, mereka duduk sarapan pagi dengan tiga potong roti. Satu potong dimakan oleh Nabi Isa sendiri, satu potong lagi dimakan oleh sahabat yang mengiringi beliau, dan satu porong lagi akan mereka bawa sebagai bekal nanti jika saja tidak menemukan makanan lagi dalam perjalanan. Sementara itu Nabi Isa berdiri dan berjalan ke sungai untuk minum. Setelah minum beliaupun kembali ke tempat semula. Dan setelah melihat kiri dan kanan, ternyata roti yng masih tinggal sepotong lagi sudah raib. Beliau bertanya kepada sahabatnya itu siapa yang mengambil roti kita ? jawabnya aku tidak tahu, hai Nabi. Tanpa piker panjang keduanya meneruskan perjalanan. Tepat saat tengah hari, tiba-tiba seekor kijang diiringi dua anaknya melintas dihadapan mereka. Nabi Isa pun memanggil seekor dari anak Kijang itu, dan segera mendekat. Anak Kijang itu beliau tangkap dan disembelih, lalu dipanggang. Merekapun makan berdua. Sisanya dikumpulkan Nabi dan beliau perintahkan, hai anak Kijang bangkitlah berdiri dengan izin Allah, maka anak kijang itupun menjelma lalu pergi dari tempat itu. Nabi Isa kembali berkata kepada sahabatnya. Demi dia yang memperlihatkan pertandaan ini kepadamu. Siapakah yang mengambil sepotong roti tadi ? sahabat itu tetap saja menjawab, aku tidak tahu wahai Nabi. Merekapun meneruskan perjalanan sampai ke sebuah lembah yang digenangi air. Nabi Isa memegangi tangan si pria, dan mereka berdua berjalan di atas permukaan air. Setelah sampai di seberang, Nabi Isa kembali berkata. Demi dia yang memperlihatkan pertanda itu kepadamu, siapakah yang mengambil roti kita tadai ? jawabnya, aku tidak tahu. Akhirnya mereka sampai di sebuah padang luas, disini mereka beristirahat. Nabi Isa lalu menunjukkan seonggok tanah berpasir, lantas berkata, jadilah engkau seonggok emas butiran dengan izin Allah. Onggokan tanah berpasir itu berubah menjadi emas. Lalu Nabi Isa membagi emas itu, sembari berujar, sepertiga untukku, sepertiga untukmu,, sepertiga untuk orang yang mengambil roti tadi. Karena berharap mendapatkan satu onggokan emas sisanya itu, akhirnya si pria mengaku bahwa dialah yang memakan roti yang satu potong tadi. Nabi Isa pun berujar, ambillah emas ini untukmu semuanya. Dan beliaupun meninggalkan pria itu sendirian dengan tiga onggokan emasnya. Tidak lama setelah itu, lewatlah dua orang perampok berbadan kekar dan tegap di padang pasir yang lengang itu. Ketika melihat onggokan emas yang kuning kemilau, kedua rampok itu bereaksi dan hendak membunuh pemilik emas itu. Kan tetapi si pria pemilik emas itu segera memohon, janganlah aku dibunuh dan marilah kita bagi harta ini. Dua rampok itu setuju dengan permohonan si pria. Karena sudah merasa lapar, salah satu dari rampok itu diutus untuk membeli makanan di tempat terdekat dari situ. Di tengan jalan ia berpikir untuk menyingkirkan kedua pria yang menjaga emas itu. Untuk apa aku harus berbagi dengan mereka, aku akan menjadi kaya dengan semua emas itu. Sebab itu lebih  baik makanan yang kubeli nanti lebih dulu kemasukkan racun, agar kedua bajingan itu mati, dan onggokan emas itu akan menjadi milikku. Begitu rekan yang diutus beli makanan berangkat, kedua penjaga emas itupun bermufakat, emas yang ada ini lebih baik kita bagi dua saja. Akhirnya ketika teman yang ,membeli makanan pulang, mereka membunuhnya, sementara mereka melahap makanan beracun dengan sekenyang-kenyangnya, akhirnya mati juga. Setelah tragedy itu Nabi Isa bersama beberapa sahabatnya lewat di tempat itu menyaksikan tiga mayat terkap[ar di dekat onggokan emas. Ujar Nabi Isa kepada sahabatnya. Waspadalah kalian terhadap tragedy cinta dunia seperti ini

Monday, August 14, 2017

Dunia Dan Isinya



Abu Hurairah bercerita, suatu kali Nabi Muhammad SAW berkata kepadaku, hai Abu Hurairah maukah engkau kuperlihatkan kepadamu dunia dengan segala isinya ? lalu kujawab, tentu saja mau ya Rosulullah. Nabi memegang tanganku dan beliau membawaku berjalan ke sebuah lembah di sekitar madinah. Disitu kami menemukan timbunan sampah dengan tengkorak-tengkorak yang berserakan bersama tahi-tahi binatang, perca-perca kain yang telah using, dan tulang belulang. Lalu Nabi bersabda, yang memiliki tengkorak ini pernah memiliki cita-cita seperti cita-citamu, berangan-angan seperti angan-anganmu tetapi sekarang ia telah berubah menjadi tulang tanpa kulit selanjutnya menjadi debu. Tahi-tahi itu adalah aneka ragam makanan yang mereka cari hilir mudik, kemudian mereka kumpulkan di dalm perut, dan sekarang telah menjadi barang yang menjijikkan. Perca-perca kain itu adalah hiasan dan pakaian mereka, sekarang telah ditiup angin kesana kemari. Dan tulang belulang itu adalah binatang tunggangan  mereka untuk menyampaikan mereka ke negeri-negeri yang jauh dan dekat. Oleh sebab itu siapa yang meratapi dunia, merataplah sekarang. Kamipun menangis tersedu-sedu. Hadis ini dikutip Alghozali dalam kitab ihya ulumuddin